Senin, 06 Februari 2017

Hamba Ikhlas Menerima Cobaan-Mu Yaa Raab

Ujian dalam hidup berbeda-beda bagi setiap orang. Semakin tinggi tingkat keimanan seseorang maka akan bertambah berat ujian yang dihadapi, bagaikan pohon besar yang rantingnya menjulang ke langit dengan daunnya yang rimbun serta akar menghujam ke bumi harus siap diterpa hujan dan badai. Namun kalau hanya sebagai rumput, tidak ada angin yang akan menghantamnya, paling tidak selalu diinjak-injak orang yang berjalan di atasnya.
Begitu pula kehidupan seorang kiai atau alim ulama yang memberikan tuntunan agama kepada masyarakat, juga tidak terlepas dari terpaan badai atau ujian dari Allah Swt, bahkan biasanya lebih berat lagi. Apakah ujian tersebut melalui dirinya sendiri, keluarganya dan bahkan harta benda miliknya.
Dalam contoh kehidupan, telah banyak yang dapat kita ambil iktibar seperti halnya dalam kehidupan para Nabi tidak terlepas dari cobaan-cobaan berat kepadanya. Untuk menjadikan seseorang beriman atau tidak, bukanlah hak Nabi, tugas Nabi hanya menjalankan syariat saja, namun segalanya dalam ketetapan Allah Swt. Setiap Nabi hanya menjalankan perintah Allah Swt untuk menyampaikan risalah agama, dan hanya sebatas penyampai saja. Hak setiap orang untuk mengikuti atau tidak risalah tersebut, karena pada akhirnya akan mendapatkan ganjaran bagi setiap orang atas pilihan yang diambil.
Nabi Ibrahim yang berani melawan kezaliman penguasa namun tidak mampu mengajak bapaknya beriman kepada Allah Swt. Nabi Nuh tidak mampu mengimankan istri dan anaknya bahkan menjadi musuh yang nyata di dalam keluarganya. Nabi Muhammad juga tidak berdaya mengislamkan pamannya Abu Thalib yang selalu mendukung perjuangan menegakkan kalimat tauhid. Namun demikian, sampai akhir hayatnya, Nabi Muhammad belum bisa memalingkan hati pamannya supaya mengucapkan dua kalimah syahadat, untuk memeluk agama Islam.
Nabi Nuh a.s memiliki sifat-sifat terpuji, fasih dan tegas dalam kata-katanya, bijaksana serta sabar dalam tindak-tanduknya untuk melaksanakan tugas risalah. Dengan penuh kesabaran dan kebijaksanaan serta kelemah-lembutan untuk mengetuk hati nurani kaumnya. Kadang kala harus dengan nada yang keras bila menghadapi pembesar-pembesar yang sombong dan enggan menerima ajaran yang disampaikannya.
Allah Swt memerintahkan kepada Nabi Nuh untuk membuat sebuah kapal yang besar karena Allah Swt akan menurunkan azab kepada orang-orang yang ingkar. Setelah semuanya siap Allah memerintahkan Nabi Nuh dan pengikutnya naik ke kapalnya. Dan (Nabi Nuh) berkata, “Naiklah kamu sekalian ke dalamnya (bahtera) dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun, Maha Penyayang” (QS. Hud, 11; 41).
Dengan berdoa; "Bismillahi majraha wa mursaha, inna robbi laghofurur rohim" berlayarlah Nabi Nuh a.s beserta umat dan binatang-binatang yang diselamatkan oleh Allah, sedangkan yang tidak beriman termasuk putra sulungnya Kan’aan enggan untuk naik ke bahtera Nabi Nuh, karena merasa mampu untuk menyelamatkan diri dari azab Allah.
Betapa sedih dan gundah gulana hati Nabi Nuh a.s pada saat anak dan istrinya tidak ikut serta bersama dalam satu bahtera besar yang dibuatnya. Karena kesombongan, mereka tidak mau membuka mata hati untuk menerima risalah kenabian, sebab itu Allah memerintahkan langit menurunkan hujan yang amat deras dan dari dalam bumi memancarkan airnya ke segala penjuru. Bukit dan gunung berubah menjadi lautan yang tak bertepi dalam sekejap mata. Yang menolak naik ke atas kapal harus membayar mahal dengan mengorbankan nyawanya diterpa azab yang sangat pedih dari Allah Swt.
Namun terdorong suara hatinya, Nabi Nuh a.s berteriak memanggil puteranya agar bergabung. Anaknya diajak bertobat dan beriman kepada Allah agar selamat dan terhindar dari hukuman Allah. Kan'aan terang-terangan menantang ayahnya;
"Biarkanlah aku dan pergilah, jauhilah aku, aku tidak sudi berlindung di atas geladak kapalmu aku akan dapat menyelamatkan diriku sendiri dengan berlindung di atas bukit yang tidak akan dijangkau oleh air bah ini." Kekerasan hati terkadang mengakibatkan seseorang tidak berpikir rasional lagi, terbelunggu hawa nafsu dan bisikan syaitan.
Nuh menjawab: "Percayalah bahwa tempat satu-satunya yang dapat menyelamatkan engkau ialah bergabung dengan kami di atas kapal ini. Tidak akan ada yang dapat melepaskan diri dari hukuman Allah yang telah ditimpakan ini kecuali orang-orang yang memperoleh rahmat dan keampunan-Nya."
Gelombang tinggi dan ganas menggulung Kan’aan dengan kencang  dan membawanya ke dasar laut nan gelap karena kedurhakaannya kepada Allah Swt dan kepada orang tuanya. Mereka binasa karena kesombongan diri, tidak mau mengikuti agama Allah Swt. Walau sedemikian hebat anaknya memusuhi Nabi Nuh a.s, namun rasa cinta seorang ayah kepada anaknya tidak akan pernah hilang sepanjang masa.
Dikala Nabi Nuh a.s melihat keadaan orang-orang kafir satu per satu ditelan gelombang laut yang sangat tinggi, disaksikannya “Kan’aan” anaknya yang sedang berjuang melawan maut timbul dan tenggelam dalam gelombang yang ganas. Nabi Nuh tetap memanggil-manggil anaknya dengan hati yang pedih, berharap ada mukjizat yang turun dari langit kepada anaknya yang sedang menentang maut, agar mau bergabung dengan keluarga di atas bahtera.
Berbeda dengan kisah Nabi Luth a.s yang kaumnya memiliki moral yang rendah, dan kemaksiatan yang merajalela di mana-mana. Pencurian, perampokan dan kejahatan lainnya ada di mana-mana. Dan kemaksiatan yang paling bejat adalah perbuatan homoseksual di kalangan laki-lakinya dan lesbian di kalangan wanita. Kedua jenis kemungkaran ini begitu hebatnya terjadi, seakan menjadi budaya di masyarakat Sodom tempat Nabi Luth a.s berada. Penciptaan makhluk yang berpasang-pasangan di muka bumi ini tidak menjadikan mereka untuk berpikir, betapa Allah telah mempersiapkan kesinambungan hidup setiap ciptaan-Nya dengan cara dan bentuk penciptaan yang sangat sempurna.
Pendatang yang masuk ke daerah mereka selalu mendapat gangguan seperti perampasan dan perampokan. Jika korban melawan mereka tidak segan-segan untuk membunuhnya. Kalau pendatang itu lelaki tampan rupawan atau wanita berparas elok, maka mereka menjadi pemuas kekejian sesama lelaki atau sesama perempuan mereka.
Nabi Luth a.s datang untuk memperbaiki akhlak mereka, karena tabiat kawin itu sudah mengarah kepada kebinatangan dan hati mereka keras serta jiwanya sakit sehingga menolak ajaran Nabi Luth a.s. Mereka menganggap kejahatan adalah kesucian, sebab itu tidak ada rasa khawatir akan azab Allah Swt, maksiat dilakukan tanpa ada rasa takut dan diperbuat secara terang-terangan.
Kejahatan karena berhubungan sesama jenis (homoseksual dan lesbian) belum pernah terjadi di muka bumi ini sebelumnya, kecuali dimulai oleh bangsa Sodom tersebut. Demikian Allah Swt mengukir kisah mereka firman-Nya; Dan (ingatlah kisah) Luth, ketika ia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan keji, padahal kamu melihat(nya). Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) syahwat(mu), bukan mendatangi perempuan? Sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak dapat mengetahui (akibat perbuatanmu).” (QS. An-Naml, 27; 54-55).
Nabi Luth a.s menyampaikan dakwah kepada mereka dengan penuh ketulusan dan kejujuran, tapi mereka menolak, bahkan mengusir Nabi Luth a.s berserta keluarganya dari negeri itu. Ironisnya istri Nabi Luth a.s pun tidak beriman kepadanya.
Karena sedemikian rusaknya moral bangsa Sodom, Allah Swt mengutus malaikatnya kepada Nabi Luth a.s berupa pemuda-pemuda tampan. Kaum Nabi Luth a.s mengira pemuda tampan tersebut adalah musafir yang tersesat jalan di daerahnya, sehingga mereka meminta Luth memberikan pemuda tersebut kepadanya. Setelah berjuang, merasa tidak mampu melawan kaumnya, maka dengan penuh kepasrahan dan penyerahan diri yang ikhlas, Nabi Luth mengangkat tangannya sembari memohon pertolongan Allah Swt. Ternyata pemuda tersebut adalah malaikat Jibril yang diutus Allah untuk membantu Luth dari gangguan kaumnya yang telah melampaui batas. Untuk melawan kezaliman mereka, maka Jibril membutakan mata kaum Luth dan mereka ditimpa azab yang kekal.
Sebagai bahan renungan umat kemudian, telah dilukiskan dalam Al-Quran surat Al-Qamar: “Dan sungguh, mereka telah membujuknya (agar menyerahkan) tamunya (kepada mereka), lalu kami butakan mata mereka, maka rasakanlah azab-Ku dan peringatan-Ku! Dan sungguh, esok harinya  mereka benar-benar ditimpa azab yang tetap” (QS. Al-Qamar, 54;37-38).
Sebelum kaum tersebut dihancurkan, para malaikat memerintahkan Nabi Luth untuk membawa keluarganya di tengah malam dan keluar dari kota. Keesokan harinya di waktu subuh, mereka mendengar suara yang sangat mengerikan dan gunung-gunung tergoncang dengan hebat.
Kota-kota di tempat kaum Luth berada, terbalik tumpah ke bumi mengakibatkan bangunan kota luluh lantak menghancurkan kaum Luth termasuk istrinya. Tamatlah riwayat mereka yang melakukan kekejian dari muka bumi ini. “Maka ketika keputusan Kami datang, Kami menjungkir-balikkan negeri kaum Luth, dan Kami hujani mereka bertubi-tubi dengan batu dari tanah yang terbakar, yang diberi tanda oleh Tuhanmu. Dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang yang zalim. ” (QS. Hud, 11;82-83).
Kejadian yang tragis mampu mengguncangkan kalbu setiap orang. Sejarah kaum Luth yang melakukan perbuatan keji, telah muncul kembali di muka bumi ini. Kalau nilai-nilai agama tidak dijadikan tuntunan maka manusia akan bimbang menghadapi hidup ini, tidak mampu lagi memilih dan memilah yang mana boleh dikerjakan dan yang mana harus ditinggalkan. Perbuatan tersebut bukan tergantung dari latar belakang suku dan bangsa, namun tentunya lebih kepada masalah kegersangan spiritual berimbas terjadinya pergaulan bebas serta memicu terjadinya perbuatan aib.
Kisah Nabi Luth a.s tersebut, saat ini telah merambah juga di seluruh dunia termasuk negeri kita. Maka jika berbagai penyakit muncul boleh jadi karena kemurkaan Allah Swt, Bahkan beberapa negara termasuk Belanda yang melegalkan kawinan sejenis. Manusia memang diciptakan sebagai makhluk yang paling mulia, tapi akan berubah menjadi yang paling hina. Oleh karena itu pembinaan kepada keluarga dengan membimbing dan mengenalkan syariat agama yang benar, perlu diberikan kepada generasi muda sejak masih kecil sebagai perbentengannya.
Yang lebih ironis lagi terkait kasus LGBT (lesbian, gay, bisex, trans gender) di berbagai negara  melegalkan perkawinan sejenis. Hal tersebut telah melanggar Hak Allah Swt yang telah menjadikan umatnya untuk memperbanyak keturunan (reproduksi). Perkawinan sejenis akan memutuskan mata rantai kehidupan umat manusia. “Mengapa mereka tidak berpikir?” Demikian Allah Swt menegur dan mengingatkan umat manusia, supaya setiap orang memikirkan kejadian manusia ini dengan segala kesempurnaan ciptaan-Nya.
Sungguh ironis pada masyarakat Indonesia yang terkenal agamis dan jumlah muslim terbesar, karena dari kalangan intelektual ada yang menganggap perkawinan sejenis adalah sesuatu yang alami. “Mengapa Anda tidak berpikir?” Ayam  jantan yang berada di sekitar rumah kita tampak menari dengan mengembangkan separoh sayapnya dengan suara lembut memanggil ayam betina di dekatnya.  Kalau ada ayam jantan lain mendekat maka akan mekar bulu di lehernya siap untuk bertarung karena sudah diberikan naluri  oleh pencipta-Nya bahwa ayam jantan adalah saingannya, bukan teman kencan untuk meneruskan generasinya. Begitu pula Si Betina, manakala bertemu dengan betina lain, terlebih lagi kalau dalam keadaan birahi, maka akan mengejar betina lain karena dianggapnya sebagai lawan dan akan mengganggu pertemuannya dengan Si Jantan.
Dengan semakin banyaknya pelanggaran terhadap perintah Allah Swt, maka saat ini sudah semakin banyak pula penyakit yang terjadi di masyarakat seperti penyakit infeksi human immunodeficiency virus (HIV) dan acquired immuno deficiency syndrome (AIDS). Namun demikian maksiat masih saja merajalela di seantero bumi ini, tidak ada takutnya terhadap azab yang akan didatangkan oleh Allah.
Alkisah seorang ulama, Kiai Besar berada di ujung Barat Pulau Sumatera mengalami ujian yang sama macamnya, namun pada hakikatnya hanya sebagian kecil dari cobaan yang diberikan Allah kalau dibandingkan dengan cobaan kepada para Nabi. Kiai Achmad bagitulah namanya, merupakan orang terpandang karena memiliki ilmu agama yang luas termasuk penguasaan ilmu fikihnya. Beliau sebagai Kiai yang disegani dan dihormati di daerahnya menjadi tempat masyarakat bertanya mengenai hukum-hukum agama, terutama masalah yang diragukan tata cara pelaksanaan ibadahnya.
Pak Kiai dikarunia empat orang anak. Badrun putra tertuanya saat itu berumur 23 tahun adalah seorang pemuda yang tampan di kampungnya. Sedangkan tiga lainnya adalah putri yang cantik-cantik dan baik akhlaknya.
Pengetahuan agama yang ia miliki setelah menimba ilmu selama lima tahun di Madinah, ia mendalami Al-Quran dan Fiqih (ilmu terkait dengan hukum-hukum agama Islam). Namun demikian Kiai Achmad, memendam kepedihan karena Badrun yang satu-satunya putra tidak seperti pemuda biasanya. Pergaulannya bebas dengan remaja setempat yang akhlaknya tidak mencerminkan seorang yang Islami. Seharusnya sebagai anak laki-laki tertua, memiliki tanggung jawab yang lebih dibandingkan adik-adiknya yang masih kecil dan perlu pengayoman.
Apakah kegagalannya mendidik putra-putrinya karena sekitar 10 tahun yang silam ditinggalkan oleh istrinya meninggal dunia, sehingga pembinaan di rumah dilakukan oleh Pak Kiai bersama istri sambungnya kurang berjalan efektif? Sementara itu tugas rutinnya mengajar pengetahuan agama mengharuskan Pak Kiai hampir setiap hari meninggalkan rumah sejak pagi hingga sore hari dan menjelang magrib baru tiba di rumahnya. Belum lagi tugas mengimami salat magrib dan isyak di Masjid dekat rumahnya.
Syukur alhamdulillah, anak-anak perempuan Pak Kiai adalah anak yang baik, pintar dan shalehah serta selalu menunjukkan rasa sayang kepada ayah mereka. Kalau teringat kepada almarhumah istrinya, maka rasa kepedihan di hati sirna manakala memandang wajah anak-anak perempuannya. Mereka bagaikan obat bagi Pak Kiai karena dapat menjadi penyejuk mata dan pendingin hatinya. Mungkin itu menjadi salah satu faktor penguat dan tumbuhnya kesabaran Pak Kiai menghadapi kelakuan putra yang membawa aib bagi diri dan keluarganya. Hampir setiap malam Badrun selepas kuliah berkumpul dengan teman-teman di rumahnya. Yang menjadikan kesedihan Pak Kiai, akhlak putranya Badrun sering mengajak kumpul rekan-rekan lelakinya dan mereka melakukan perbuatan keji di rumahnya sebagaimana dilakukan oleh kaum Luth yaitu homoseksual.
Rumahnya menjadi tempat rendevouz sesama pria, tetapi Pak Kiai tidak mampu membimbing dan mengembalikan sifat putranya menjadi seorang pria normal. Perbuatan tersebut baru diketahuinya sekitar tiga tahun belakangan ini. Karena kesibukan Pak Kiai, terkadang melupakan pembinaan di dalam rumahnya sendiri.
 “Ananda” kata Pak Kiai.
 “Ayah malu sebagai Kiai, panutan masyarakat di sini, mampu membimbing orang lain tapi tidak mampu mendidik anak sendiri.” Lanjut ayahnya.
Badrun menjawab sekenanya: “Ayah, aku kan sudah dewasa dan bebas dong menentukan jalan hidupku sendiri, jangan ayah selalu mencampuri urusan anak remaja”.
“Tetapi kamu harus ingat, bahwa Allah tidak diam dan selalu menyaksikan apa yang kita perbuat. Saya takut azab Allah akan menimpa kita sekeluarga”, jawab Ayahnya.
“Ah... Ayah harus introspeksi diri, di mana kasih sayang kepada kami selama ini. Ayah, selalu meninggalkan kami sejak pagi sampai malam hari, seakan-akan tidak ada waktu untuk kami.”
Badrun” Pak Kiai memanggil anaknya dengan suara rendah, tapi tegas yang mencerminkan kesedihan dan gundah gulana hatinya.
Badrun memang bebas menentukan jalan hidup, tapi harus sesuai dengan ajaran dan bimbingan agama kita. Jangan sampai kita dilaknat dan diazab seperti azab yang ditimpakan kepada kaum Luth dan keluarganya. Engkau sudah dewasa silahkan menentukan jalan hidupmu dengan segala risiko”. Lanjut ayahnya.
Sulit untuk berdiskusi dengan anaknya karena Badrun senantiasa mengedepankan emosi ketimbang logikanya. Selanjutnya Badrun membanting pintu dan mengunci kamarnya, karena memang emosinya sulit terkendali, disebabkan nafsunya lebih dipupuk subur ketimbang imannya.
Badrun telah belajar mengaji Al-Quran semasa kecilnya, juga ilmu agama yang diajarkan oleh ustaz di kampungnya. Sejak kanak-kanak, Badrun mengaji di Surau dekat rumahnya, ba’da salat magrib hingga lepas salat isyak.
Musibah ini bagaikan badai dan angin kencang datangnya dari Allah Swt untuk menguji hamba yang dicintai-Nya. Pak Kiai yakin bahwa Allah Swt sedang menatapnya, menyapanya dan Pak Kiai selalu ingat pesan dalam firman-Nya bahwa Allah tidak akan menguji hamba-Nya kecuali sudah ditakar kemampuan untuk menghadapi ujian tersebut. Allah sangat mencintai orang-orang yang sabar.
Tidak hanya ibadah pokok saja yang dilakukan Pak Kiai dengan maksimal, juga muamalah dilakukan dengan baik pula, siap membantu siapa saja, kapan saja dan di mana saja orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Namun akhir-akhir ini Pak Kiai, sering merenung dan introspeksi menghisab diri sendiri.
Apakah sesuatu yang wajar, apabila seseorang yang  senantiasa membantu orang lain, sementara itu tidak mampu menolong keluarganya sendiri untuk kembali ke jalan yang lurus.
Pernah Pak Januar seorang tetangga, meminta tolong kepada Pak Kiai untuk mendoakan salah seorang putra mereka yang sangat sulit menjalankan perintah salat lima waktu. Dengan segala kerendahan hati Pak Kiai menjelaskan; “Jangankan untuk mendoakan orang lain, putra saya sendiri saya tidak mampu mendoakannya. Bagaimana saya dapat membantu putra Anda, Pak Januar”,  katanya.
Namun demikian masyarakat tetap yakin kepada kedekatan nurani Pak Kiai kepada Allah Swt dan mereka tetap mengharapkan doa Pak Kiai untuk putra mereka. Pak Kiai berdoa dan juga membekali Pak Januar dengan doa yang dipanjatkan setiap selesai salat fardhu dan salat-salat sunat, karena akan lebih afdhal doa orang tuanya sendiri sedangkan Pak Kiai hanya membantu jalannya saja. Alhamdulillah, tidak dalam hitungan tahun harapan Pak Januar dikabulkan oleh Allah Swt.
Sebenarnya Pak Kiai khawatir kalau orang-orang kampung menganggap diri beliau lebih dari orang lain karena makbul doanya. Hal tersebut dapat menjadikan seseorang menjadi sombong dan lupa diri, akhirnya ia akan melupakan Tuhannya.
Hari silih berganti, setiap malam Pak Kiai melaksanakan salat tahajud sekaligus mendoakan putranya agar diberikan hidayah oleh Allah Swt, kembali ke jalan yang benar. Air mata mengalir dari pipinya yang sudah mulai berkerut karena termakan usia yang sudah melampaui setengah abad. Namun bekas ketawadhuan dan ketenangan di wajah Pak Kiai membawa kedamaian bagi siapa saja yang memandang beliau. Terkadang dadanya bergerak turun naik sewaktu berdoa. Gemuruh dadanya karena kepedihan atas musibah yang menimpa keluarganya. Bagaimana mungkin, ia adalah seorang Kiai, seorang panutan tapi justru tidak mampu mendidik putranya sendiri.
Pak Kiai sangat bersedih karena tidak mampu menolong anaknya. Sementara itu beliau khawatir bahwa pada suatu saat nanti akan terjadi, ketika seorang bapak tidak mampu menolong anaknya dan anak tidak pula berdaya menolong bapaknya. Sungguh tragis kehidupan ini.
“Ya Rabb jadikanlah anak-anakku menjadi anak yang shaleh dan shalehah. Kabulkan doaku Ya Allah, Aamiin …..”, terdengar rintihannya di ujung doa.
Di dalam keheningan malam, Pak Kiai melakukan perenungan, memfanakan diri dengan memejamkan matanya. Hanya kalbunya saja yang naik menerawang berdialog dengan Sang Pencipta. Jiwanya menembus cakrawala yang senyap, mendekat dan semakin mendekat seolah bersimpuh di hadapan Sang Penciptanya. Beliau hilang dalam kefanaan, tidak ada yang kekal di dunia ini, kecuali hanya Allah Swt satu-satunya zat Yang Mahakekal.
“Ya Allah, hanya kepada Engkau aku menyembah dan hanya kepada Engkau aku memohon pertolongan. Maka dari itu tolonglah hamba Ya Rabb, berikanlah jalan terbaik bagi kami …aamiin. Kepada siapa lagi aku berharap kalau tidak kepada-Mu Ya Allah. ”Kedua tangannya terangkat setinggi bahu dan menengadah mengharapkan limpahan kasih sayang serta hidayah untuk anaknya tercinta. Entah sudah berapa ribu kali suara lirihnya merintih keharibaan Allah: “Ya Allah, ampunilah dosaku dan anak keturunanku … Aamiin”
“Rabbanaa hab lanaa min azwajinaa wa dzurriyaatinaa qurrata a’yun waj’alnaa lil muttaqiina imaama” (QS. Al-Furqon, 25;74). Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami, (yaitu) pasangan kami dan keturunan kami yang menyenangkan hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa. Doa ini selalu beliau dawamkan setiap habis salat.
Waktu terus berjalan, berbagai upaya sudah dijalani oleh Pak Kiai, tapi belum membuahkan hasil. Kalau ujian dan cobaan lain kurang berarti baginya, tapi mengenai Badrun yang satu ini, tak ada yang lebih berat rasanya. Kiai Achmad merasa serba salah. Kondisi anaknya sekarang ini ibarat pepatah: “Sebagaimana buah kepayang, kalau dimakan mabuk, tapi dibuang sayang.”
Tidak mungkin ia membuang putranya karena anak adalah titipan Allah Swt melalui dirinya. Toh… pada hakikatnya dirinya serta seluruh keluarga adalah titipan sang Khalik, berarti bukan miliknya. Allah merupakan pemilik jagat raya yang luas ini beserta seluruh isinya.
Kepedihan hati yang mendalam dan berkesinambungan dihadapi oleh Pak Kiai penuh kesabaran. Pak Kiai mengadukan keperihan batinnya setiap malam  dengan cucuran air mata kepada Sang Khalik; “Ya Allah, jangan Engkau siksa hamba di akhirat nanti karena perbuatan anakku yang melanggar syariat-Mu, tetapi hamba tidak sanggup menerima azab yang pedih di dunia ini apabila Engkau timpakan kepadaku. Namun hamba ikhlas ya Rabb, dan menerima segala keputusan-Mu. Ya Rabb, berikanlah yang terbaik menurut-Mu dan terbaik bagiku serta keluargaku.”
Di malam yang sepi, dalam kegundahan dan kepedihan hatinya, Pak Kiai masih tetap senantiasa berdoa dengan khusuk dan ikhlas mengharap pertolongan-Nya. Namun belum juga ada tanda-tanda Allah Swt mengabulkan pintanya. Pak Kiai senantiasa sabar, ikhlas menerima cobaan ini. Yang membuat Pak Kiai kuat hatinya, karena masyarakat memahami kondisi yang sedang dihadapi sebagai cobaan dari-Nya.
Tidak ada kurangnya lagi Pak Kiai mendidik keluarganya agar berbuat baik sesuai dengan tuntunan agama, tapi cobaan sedang menerpanya. Pak Kiai memang sedang menerima ujian yang berat dari Allah Swt. Justru dalam kehidupan sehari-hari, banyak juga kita saksikan orang yang kurang membimbing anaknya, ternyata menjadi anak yang patuh dan shaleh serta berhasil meraih kehidupan duniawi. Allah berkuasa atas segala sesuatu. Walau hati dilanda kepedihan, tapi Pak Kiai tidak pernah surut melakukan tugas dakwahnya, karena tugas tersebut adalah panggilan jiwa sampai akhir hayatnya kelak.
Suatu malam, terjadi pemadaman listrik di kampung Pak Kiai. Hampir setiap rumah memasang lilin, lampu semprong kaca atau lampu sentir yang memang disiapkan penduduk kampung untuk mengantisipasi manakala ada pemadaman listrik dari PLN yang memang sering terjadi di daerah itu.
Di rumah Pak Kiai pun memasang lampu semprong kaca dan lilin untuk kebutuhan penerangan. Saat itu Badrun dan adik-adiknya berada di rumah dan sedang di kamar masing-masing. Sementara itu, Badrun sendirian di kamarnya menyalakan lilin karena lampu semprong kaca untuk kamar adiknya, ruang tengah dan dapur. Satu lampu lagi ditaruh di depan rumah, menantikan kedatangan Pak Kiai pulang dari mengajar di Masjid malam itu.
Badrun menaruh lilin di atas meja belajarnya yang dibuat dari bahan kayu, sambil mendengarkan lagu hiburan dari Siaran Radio Remaja yang dipancarkan dari stasiun di kampungnya. Mungkin nahas waktu itu, Badrun yang merasa penat karena seharian kuliah dan dilanjutkan aktivitas ekstra kulikuler yaitu kegiatan kesenian sampai menjelang salat magrib di kampusnya, kemudian tanpa sengaja tertidur di keremangan malam itu.
Listrik belum menyala juga, sementara Badrun tertidur pulas di kamarnya. Tiba-tiba api telah berkobar menyambar material yang mudah terbakar di atas meja belajarnya. Buku-buku yang berserakan di atas meja segera dilahap oleh jago merah dan sulit untuk dikendalikan lagi karena telah membakar meja serta rumah yang terbuat dari bangunan kayu tersebut.
Ternyata lilin terjatuh dan menyambar apa saja yang mudah terbakar di atas meja belajarnya. Badrun meloncat, berteriak meminta bantuan; “Toloooong, toloooong,  kebakaran!” Dalam kegelapan malam yang disinari kobaran cahaya api merah yang menggelegak di kamarnya, Badrun terjatuh dan tangannya tertimpa runtuhan kayu membara. Namun ia masih bisa menyelamatkan diri keluar dari kamarnya, walau dengan tangan yang terkena bakaran kayu panas. Betapa panasnya api dunia, namun belum seberapa dibandingkan dengan panasnya api akhirat.
Masyarakat sekitar membantu memadamkan api yang berkobar besar, sementara mobil pemadam kebakaran baru tiba di lokasi setelah rumah hangus terbakar menjadi abu. Dengan cepat si jago merah melahap rumah Pak Kiai yang terbuat dari kayu dan sudah di huni lebih dari tiga perempat abad karena warisan kakeknya yang juga seorang ulama. Harta Pak Kiai tinggal apa yang ada di badan, dan beberapa dokumen penting lainnya.
Apa daya pada waktu itu! Pak Kiai pulang dari tugas mengajar di kampung sebelah, mendapati rumahnya sudah runtuh terbakar menjadi abu dan rata dengan tanah.
“Semuanya milik-Mu Ya Allah dan kembali kepada-Mu! ”
Anak-anaknya selamat, namun  Badrun sudah dibawa ke Rumah Sakit oleh tetangga untuk dilakukan pertolongan pertama luka bakar di tangannya yang cukup parah. Dengan pengobatan yang intensif dan memerlukan waktu yang cukup lama akhirnya luka bakarnya bisa pulih kembali, walaupun bekasnya tidak bisa hilang seperti sediakala.
 Pak Kiai, adalah orang yang sabar dan sedikit pun tidak terlihat guratan kesedihan di wajahnya menghadapi musibah kehilangan harta. Dalam kepedihan hati, tetap wajahnya memancarkan kasih sayang kepada anak-anaknya, dan juga sebagai seorang ulama tampak tanda-tanda ketinggian ilmu dan keikhlasan di wajahnya. Harta, istri dan anak-anak bukan segalanya, hanya titipan Allah dan suatu saat nanti akan kembali lagi kepada Allah.
Apa yang berlaku dengan Badrun?  Kejadian tersebut telah membuahkan penyesalan, karena dialah sebagai penyebab semua kejadian itu. Namun demikian dibalik peristiwa tersebut ada pula hikmah yang besar, Badrun melakukan kilas balik dengan kelakuannya selama ini.  Sewaktu memandang wajah ayahnya yang penuh kesabaran, hatinya luluh dari kekerasan dan kebekuan kalbu selama ini. “Aku telah salah langkah, namun ayah masih tetap menyayangiku,” bisik hatinya.
Badrun sadar bahwa Allah Swt masih memberikan kesempatan kepadanya untuk bertobat. “Mungkin ini azab yang ditimpakan kepada keluargaku, disebabkan perilaku buruk selama ini yang telah jauh dari jalan Allah, sehingga keluargaku juga ikut menanggung beban malu dan derita yang berat ini”, bisik Badrun sambil menetes air matanya.
“Betapa panas api dunia, Ya Allah bagaimana hebatnya api nerakamu yang menggelegak dengan bahan bakarnya manusia dan batu.”
Suara tersebut senantiasa terngiang di telinga Badrun. Selama ini ia telah lupa kepada Allah, sehingga Allah pun melupakan dirinya. Tapi masih ada titik cahaya kemilau tajam yang mampu menembus relung hatinya yang dalam, karena dulu pernah ada benih cinta kepada Allah Swt yang diajarkan oleh ustaz dan orang tua semasa kecilnya.
“Dosaku bagaikan buih di lautan. Apakah Allah Swt masih mengampuniku?” Itu pertanyaan yang membuncah dalam batinnya disertai dengan deraian air mata.  Ia telah menzalimi diri sendiri dan  durhaka kepada kedua orang tuanya.
Apakah ayah masih ridha melihat kelakuanku yang telah melanggar syariat agama selama ini? Bagaimana Ibuku yang sudah dalam kubur yang gelap? Apakah Ibuku disiksa karena kelakuanku?  Berbagai pertanyaan yang datang dari dalam dirinya dan menyerang dirinya pula. Apakah pintu hidayah dan tobat masih dibuka oleh Allah?
Pak Kiai adalah orang yang dicintai oleh masyarakat di daerahnya, mungkin manifestasi cinta Pak Kiai kepada Allah Swt melebihi cintanya kepada yang lain. Tidak ada keluh kesah terdengar dan tidak juga tangannya ditengadahkan meminta pertolongan selain kepada Allah Swt semata. Keyakinan terhadap keberadaan Allah Swt yang demikian besar, dan tentu Allah akan memberikan bantuan pula dari tempat serta jalan yang tak terduga. Dalam waktu singkat rumah Pak Kiai sudah berdiri lagi karena bantuan baik dari Pemerintah Daerah maupun masyarakat yang senantiasa menimba ilmu darinya. Pak Kiai bersyukur dan bersabar. Tidak ada kesusahan bagi orang shaleh dalam hidup ini, karena apa pun yang terjadi pasti ada hikmahnya.
Allah Swt telah menurunkan musibah kepada Pak Kiai dan keluarganya selagi beliau berada di dunia, mudah-mudahan diselamatkan dari siksa pedih nantinya di akhirat yang kekal. Tetapi setelah musibah kebakaran rumahnya, ternyata Allah Swt segera mengembalikan rumahnya dalam bentuk yang lebih baik karena bantuan berbagai pihak. Rumah kayu yang selama ini ditempati, sudah berganti dengan rumah permanen walaupun kecil namun layak dan indah dipandang mata.
Allah telah mengabulkan doanya, ternyata dengan kesabaran Pak Kiai selama ini menghadapi tingkah laku putranya, hidayah datang kedalam hati sanubari Badrun untuk kembali ke jalan yang lurus. Badrun menyadari perbuatannya telah melanggar syariat agama dengan perbuatan keji, homoseksual sebagaimana dilakukan kaum Nabi Luth, akibatnya Allah menurunkan azab kepadanya.
Dengan kejadian tersebut Pak Kiai bersyukur, karena Allah tidak mengazab yang berat kepada dirinya seperti azab kepada umat Nabi Luth yaitu menghujaninya batu dan dari tanah yang terbakar. Pak Kiai bersyukur karena mereka sekeluarga diselamatkan dari musibah, terutama Badrun sudah menyadari kesalahannya dan dapat hidup normal kembali.
Dukungan dari keluarga sangat dibutuhkan Pak Kiai, karena ia adalah seseorang yang ditokohkan dan menjadi contoh teladan bagi kaum di kampungnya. Dengan kasih sayang Allah Swt, keluarga Pak Kiai dapat beraktivitas seperti semula dan semakin menambah tawadhu dan keyakinannya bahwa Allah Mahamenatap dan tidak pernah meninggalkan orang-orang yang beriman kepada-Nya.
Ya Allah Engkaulah yang membolak balikkan hati kami, oleh karena itu condongkanlah hati kami senantiasa kepada kebenaran, agar kami dapat melaksanakan segala perintah dan menjauhkan larangan-Mu. Hantarkan kami ke jalan yang lurus. Mantapkan Islam kami dan kokohkanlah iman kami ….. amin Ya Robbal ‘alamiin.
Selanjutnya doa pamungkas tetap dilantunkan oleh Pak Kiai setiap salat malam, karena telah merasakan betapa beratnya menerima cobaan dan ujian dari Rabbnya. Perasaan ingin berjumpa segera dengan Sang Khalik dicurahkan dalam rintihan kerinduan. Allah sangat mengasihi hambanya yang bertobat, melebihi kasih sayang orang tua kepada anaknya.
Dari kisah tersebut di atas, baik yang dialami oleh para Nabi atau oleh Pak Kiai Achmad, ternyata kita tidak mampu memberikan cahaya keimanan baik kepada istri, anak atau kepada sanak kerabat terkasih lainnya. Saking cintanya Rasululullah Saw kepada pamannya Abu Thalib, beliau memohonkan ampunan bagi pamannya dan pada waktu itu belum ada larangan bagi beliau untuk memohon ampunan setelah akhir hayat pamannya. Namun Allah mengingatkan Rasululullah Saw; “Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”, (QS Al-Qasas, 28;56).

Dalam kesunyian malam Kiai Achmad merapatkan keningnya di atas hamparan serban putihnya, sembari menyebut asma-Nya; Ya Allah, Ya Rohmaan, Ya Rohiim, Ya Kuddus, Ya Salam …… terima kasih Ya Allah, Engkau telah mengembalikan intan permata yang sempat menghilang dan kini sudah berada kembali di pangkuanku. Ampunilah hamba Ya Allah, beri petunjuk anak dan keturunanku. Tiada daya dan upaya, hanya kepada-Mu hamba menyembah dan kepada-Mu hamba memohon pertolongan serta berserah diri, .....Aamiin.