Ujian dalam hidup
berbeda-beda bagi setiap orang. Semakin tinggi tingkat keimanan seseorang maka akan bertambah berat ujian yang dihadapi,
bagaikan pohon besar yang rantingnya menjulang ke langit dengan daunnya yang
rimbun serta akar menghujam ke bumi harus siap diterpa hujan dan badai. Namun
kalau hanya sebagai rumput, tidak ada angin yang akan menghantamnya, paling tidak
selalu diinjak-injak orang yang berjalan di atasnya.
Begitu pula kehidupan
seorang kiai atau alim ulama yang memberikan tuntunan agama kepada masyarakat,
juga tidak terlepas dari terpaan badai atau ujian dari Allah Swt, bahkan
biasanya lebih berat lagi. Apakah ujian tersebut melalui dirinya sendiri,
keluarganya dan bahkan harta benda miliknya.
Dalam contoh
kehidupan, telah banyak yang dapat kita ambil iktibar seperti halnya dalam kehidupan para Nabi tidak terlepas dari cobaan-cobaan berat
kepadanya. Untuk menjadikan
seseorang beriman atau tidak, bukanlah hak Nabi, tugas Nabi hanya menjalankan
syariat saja, namun segalanya dalam ketetapan Allah Swt. Setiap Nabi hanya
menjalankan perintah Allah Swt untuk menyampaikan risalah agama, dan hanya
sebatas penyampai saja. Hak setiap orang untuk mengikuti atau tidak risalah
tersebut, karena pada akhirnya akan mendapatkan ganjaran bagi setiap orang atas
pilihan yang diambil.
Nabi Ibrahim yang
berani melawan kezaliman penguasa namun tidak mampu mengajak bapaknya beriman kepada Allah Swt. Nabi Nuh tidak mampu
mengimankan istri dan anaknya bahkan menjadi musuh yang nyata di dalam
keluarganya. Nabi Muhammad juga tidak berdaya mengislamkan pamannya Abu Thalib
yang selalu mendukung perjuangan menegakkan kalimat tauhid. Namun demikian,
sampai akhir hayatnya, Nabi Muhammad belum bisa memalingkan hati pamannya
supaya mengucapkan dua kalimah syahadat, untuk memeluk agama Islam.
Nabi Nuh a.s memiliki
sifat-sifat terpuji, fasih dan tegas dalam kata-katanya, bijaksana serta
sabar dalam tindak-tanduknya untuk melaksanakan tugas risalah. Dengan penuh
kesabaran dan kebijaksanaan serta kelemah-lembutan untuk mengetuk hati nurani
kaumnya. Kadang
kala harus dengan nada yang keras bila menghadapi pembesar-pembesar yang
sombong dan enggan menerima ajaran yang disampaikannya.
Allah Swt
memerintahkan kepada Nabi Nuh untuk membuat sebuah kapal yang besar karena
Allah Swt akan menurunkan azab kepada orang-orang yang ingkar. Setelah semuanya
siap Allah memerintahkan Nabi Nuh dan pengikutnya naik ke kapalnya. Dan
(Nabi Nuh) berkata, “Naiklah kamu sekalian ke dalamnya (bahtera) dengan
menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya. Sesungguhnya Tuhanku
Maha Pengampun, Maha Penyayang” (QS. Hud, 11; 41).
Dengan berdoa; "Bismillahi
majraha wa mursaha, inna robbi laghofurur rohim" berlayarlah Nabi Nuh
a.s beserta umat dan binatang-binatang yang diselamatkan oleh Allah, sedangkan
yang tidak beriman termasuk putra sulungnya Kan’aan enggan untuk naik ke
bahtera Nabi Nuh, karena merasa mampu untuk menyelamatkan diri dari azab Allah.
Betapa sedih dan
gundah gulana hati Nabi Nuh a.s pada saat anak dan istrinya tidak ikut serta
bersama dalam satu bahtera besar yang dibuatnya. Karena kesombongan, mereka tidak
mau membuka mata hati untuk menerima risalah kenabian, sebab itu Allah memerintahkan
langit menurunkan hujan yang amat deras dan dari dalam bumi memancarkan airnya
ke segala penjuru. Bukit dan gunung berubah menjadi lautan yang tak bertepi dalam sekejap mata. Yang menolak naik ke atas kapal harus
membayar mahal dengan mengorbankan nyawanya diterpa azab yang sangat pedih dari Allah Swt.
Namun terdorong
suara hatinya, Nabi Nuh a.s
berteriak memanggil puteranya
agar bergabung. Anaknya diajak bertobat dan beriman kepada Allah agar selamat dan terhindar dari
hukuman Allah. Kan'aan terang-terangan
menantang ayahnya;
"Biarkanlah aku dan pergilah, jauhilah aku, aku tidak
sudi berlindung di atas geladak kapalmu aku akan dapat menyelamatkan diriku
sendiri dengan berlindung di atas bukit yang tidak akan dijangkau oleh air bah
ini." Kekerasan hati terkadang mengakibatkan seseorang tidak berpikir
rasional lagi, terbelunggu hawa
nafsu dan bisikan syaitan.
Nuh
menjawab: "Percayalah bahwa
tempat satu-satunya yang dapat menyelamatkan engkau ialah bergabung dengan kami
di atas kapal ini. Tidak
akan ada yang dapat melepaskan diri dari hukuman Allah yang telah ditimpakan
ini kecuali orang-orang yang memperoleh rahmat
dan keampunan-Nya."
Gelombang tinggi dan ganas menggulung Kan’aan dengan
kencang dan membawanya ke dasar laut nan
gelap karena kedurhakaannya kepada Allah Swt dan kepada orang tuanya. Mereka
binasa karena kesombongan diri,
tidak mau mengikuti agama Allah Swt. Walau sedemikian hebat anaknya memusuhi
Nabi Nuh a.s, namun rasa cinta seorang ayah kepada anaknya tidak akan pernah
hilang sepanjang masa.
Dikala Nabi Nuh a.s melihat keadaan orang-orang kafir satu
per satu ditelan gelombang laut yang sangat tinggi, disaksikannya “Kan’aan”
anaknya yang sedang berjuang melawan maut timbul dan tenggelam dalam gelombang
yang ganas. Nabi Nuh tetap memanggil-manggil anaknya dengan hati yang pedih,
berharap ada mukjizat yang turun dari langit kepada anaknya yang sedang
menentang maut, agar mau bergabung dengan keluarga di atas bahtera.
Berbeda dengan kisah Nabi Luth a.s yang kaumnya memiliki
moral yang rendah, dan
kemaksiatan yang merajalela
di mana-mana. Pencurian, perampokan dan kejahatan lainnya ada di mana-mana. Dan kemaksiatan yang paling bejat adalah perbuatan
homoseksual di kalangan laki-lakinya dan lesbian di
kalangan wanita. Kedua jenis kemungkaran ini begitu hebatnya terjadi, seakan menjadi budaya di
masyarakat Sodom tempat Nabi Luth a.s berada. Penciptaan makhluk yang
berpasang-pasangan di muka bumi ini tidak menjadikan mereka untuk berpikir,
betapa Allah telah mempersiapkan kesinambungan hidup setiap ciptaan-Nya dengan cara
dan bentuk penciptaan yang sangat sempurna.
Pendatang yang masuk ke daerah mereka selalu mendapat
gangguan seperti perampasan
dan perampokan. Jika
korban melawan mereka tidak segan-segan untuk membunuhnya. Kalau pendatang itu lelaki tampan rupawan atau wanita berparas
elok, maka mereka menjadi pemuas kekejian sesama lelaki atau sesama perempuan
mereka.
Nabi Luth a.s datang untuk memperbaiki akhlak mereka, karena
tabiat kawin itu sudah mengarah kepada kebinatangan dan hati mereka keras serta
jiwanya sakit sehingga menolak ajaran Nabi Luth a.s. Mereka menganggap
kejahatan adalah kesucian, sebab itu tidak ada rasa khawatir akan azab Allah
Swt, maksiat dilakukan tanpa ada rasa takut dan diperbuat secara
terang-terangan.
Kejahatan karena berhubungan sesama jenis (homoseksual dan
lesbian) belum pernah terjadi di muka bumi ini sebelumnya, kecuali dimulai oleh
bangsa Sodom tersebut. Demikian Allah Swt mengukir kisah mereka firman-Nya; “Dan
(ingatlah kisah) Luth, ketika ia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kamu
mengerjakan perbuatan keji, padahal kamu melihat(nya). Mengapa kamu mendatangi
laki-laki untuk (memenuhi) syahwat(mu), bukan mendatangi perempuan? Sebenarnya
kamu adalah kaum yang tidak dapat mengetahui (akibat perbuatanmu).” (QS. An-Naml, 27; 54-55).
Nabi Luth a.s menyampaikan dakwah kepada mereka dengan
penuh ketulusan dan kejujuran, tapi
mereka menolak, bahkan mengusir Nabi Luth a.s berserta keluarganya dari
negeri itu. Ironisnya istri Nabi Luth a.s pun tidak
beriman kepadanya.
Karena sedemikian rusaknya moral bangsa Sodom, Allah Swt mengutus
malaikatnya kepada Nabi Luth a.s berupa pemuda-pemuda tampan. Kaum Nabi Luth a.s
mengira pemuda tampan tersebut adalah musafir yang tersesat jalan di daerahnya,
sehingga mereka meminta Luth memberikan pemuda tersebut kepadanya. Setelah
berjuang, merasa tidak mampu melawan kaumnya, maka dengan penuh kepasrahan dan
penyerahan diri yang ikhlas, Nabi Luth mengangkat tangannya sembari memohon
pertolongan Allah Swt. Ternyata pemuda tersebut adalah malaikat Jibril yang
diutus Allah untuk membantu Luth dari gangguan kaumnya yang telah melampaui
batas. Untuk melawan kezaliman mereka, maka Jibril membutakan mata kaum Luth
dan mereka ditimpa azab yang kekal.
Sebagai bahan renungan umat kemudian, telah dilukiskan dalam Al-Quran
surat Al-Qamar: “Dan sungguh, mereka
telah membujuknya (agar menyerahkan) tamunya (kepada mereka), lalu kami butakan
mata mereka, maka rasakanlah azab-Ku dan peringatan-Ku! Dan sungguh, esok
harinya mereka benar-benar ditimpa azab
yang tetap” (QS. Al-Qamar, 54;37-38).
Sebelum kaum tersebut dihancurkan, para malaikat
memerintahkan Nabi Luth untuk membawa keluarganya di tengah malam dan keluar
dari kota. Keesokan harinya di waktu subuh, mereka mendengar suara yang
sangat mengerikan dan gunung-gunung tergoncang dengan hebat.
Kota-kota di tempat kaum Luth berada, terbalik tumpah ke bumi
mengakibatkan bangunan
kota luluh lantak menghancurkan kaum Luth termasuk istrinya. Tamatlah riwayat
mereka yang melakukan kekejian dari muka bumi ini. “Maka
ketika keputusan Kami datang, Kami menjungkir-balikkan negeri kaum Luth, dan
Kami hujani mereka bertubi-tubi dengan batu dari tanah yang terbakar, yang
diberi tanda oleh Tuhanmu. Dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang yang zalim.
” (QS. Hud, 11;82-83).
Kejadian yang tragis mampu mengguncangkan kalbu setiap orang. Sejarah kaum
Luth yang melakukan perbuatan keji, telah muncul kembali di muka bumi ini.
Kalau nilai-nilai agama tidak dijadikan tuntunan maka manusia akan bimbang
menghadapi hidup ini, tidak mampu lagi memilih dan memilah yang mana boleh
dikerjakan dan yang mana harus ditinggalkan. Perbuatan tersebut bukan
tergantung dari latar belakang suku dan bangsa, namun tentunya lebih kepada
masalah kegersangan spiritual berimbas
terjadinya pergaulan bebas serta memicu terjadinya perbuatan aib.
Kisah Nabi Luth a.s tersebut,
saat ini telah merambah juga di seluruh dunia termasuk negeri kita. Maka jika berbagai penyakit muncul boleh jadi karena kemurkaan Allah Swt, Bahkan beberapa negara termasuk Belanda yang melegalkan kawinan sejenis.
Manusia memang diciptakan sebagai makhluk yang paling mulia, tapi akan berubah
menjadi yang paling hina. Oleh karena itu pembinaan kepada keluarga dengan
membimbing dan mengenalkan syariat agama yang benar, perlu diberikan kepada
generasi muda sejak masih kecil sebagai perbentengannya.
Yang lebih ironis lagi terkait
kasus LGBT (lesbian, gay, bisex, trans gender) di berbagai negara melegalkan perkawinan sejenis. Hal tersebut telah melanggar
Hak Allah Swt yang telah menjadikan umatnya untuk memperbanyak keturunan
(reproduksi). Perkawinan sejenis akan
memutuskan mata rantai kehidupan umat manusia. “Mengapa mereka tidak berpikir?” Demikian Allah Swt menegur dan
mengingatkan umat manusia, supaya
setiap orang memikirkan kejadian manusia ini dengan segala kesempurnaan
ciptaan-Nya.
Sungguh ironis pada masyarakat Indonesia yang
terkenal agamis dan jumlah muslim terbesar, karena dari kalangan intelektual ada
yang menganggap perkawinan sejenis adalah sesuatu yang alami. “Mengapa Anda tidak berpikir?” Ayam jantan yang berada di sekitar rumah kita
tampak menari dengan mengembangkan separoh sayapnya dengan suara lembut
memanggil ayam betina di dekatnya. Kalau
ada ayam jantan lain mendekat maka akan mekar bulu di lehernya siap untuk
bertarung karena sudah diberikan naluri
oleh pencipta-Nya bahwa ayam jantan adalah saingannya, bukan teman
kencan untuk meneruskan generasinya. Begitu pula Si Betina, manakala bertemu
dengan betina lain, terlebih lagi kalau dalam keadaan birahi, maka akan
mengejar betina lain karena dianggapnya sebagai lawan dan akan mengganggu
pertemuannya dengan Si Jantan.
Dengan semakin banyaknya pelanggaran terhadap
perintah Allah Swt, maka saat ini sudah semakin banyak pula penyakit yang
terjadi di masyarakat seperti penyakit infeksi human immunodeficiency virus (HIV) dan acquired immuno deficiency syndrome (AIDS). Namun demikian maksiat masih saja
merajalela di seantero bumi ini, tidak ada takutnya terhadap azab yang akan
didatangkan oleh Allah.
Alkisah seorang ulama, Kiai Besar berada di ujung
Barat Pulau Sumatera mengalami ujian yang sama macamnya, namun pada hakikatnya
hanya sebagian kecil dari cobaan yang diberikan Allah kalau dibandingkan
dengan cobaan kepada para Nabi. Kiai Achmad bagitulah namanya, merupakan orang terpandang karena
memiliki ilmu agama yang luas termasuk penguasaan ilmu fikihnya. Beliau sebagai Kiai yang disegani dan dihormati di
daerahnya menjadi tempat masyarakat bertanya mengenai hukum-hukum agama,
terutama masalah yang diragukan tata cara pelaksanaan ibadahnya.
Pak Kiai dikarunia empat orang anak. Badrun putra tertuanya saat itu
berumur 23 tahun adalah seorang pemuda yang tampan di kampungnya. Sedangkan tiga
lainnya adalah putri yang cantik-cantik dan baik akhlaknya.
Pengetahuan agama yang ia miliki setelah menimba ilmu selama lima tahun di Madinah, ia mendalami Al-Quran dan Fiqih (ilmu terkait dengan hukum-hukum agama Islam). Namun demikian Kiai Achmad, memendam kepedihan karena Badrun yang
satu-satunya putra tidak seperti pemuda biasanya. Pergaulannya bebas dengan
remaja setempat yang akhlaknya tidak mencerminkan seorang yang Islami.
Seharusnya sebagai anak laki-laki tertua, memiliki tanggung jawab yang lebih
dibandingkan adik-adiknya yang masih kecil dan perlu pengayoman.
Apakah kegagalannya mendidik putra-putrinya karena sekitar 10 tahun yang
silam ditinggalkan oleh istrinya meninggal dunia, sehingga pembinaan di rumah
dilakukan oleh Pak Kiai bersama istri sambungnya kurang berjalan efektif?
Sementara itu tugas rutinnya mengajar pengetahuan agama mengharuskan Pak Kiai
hampir setiap hari meninggalkan rumah sejak pagi hingga sore hari dan menjelang
magrib baru tiba di rumahnya. Belum lagi tugas mengimami salat magrib dan isyak di Masjid dekat
rumahnya.
Syukur alhamdulillah, anak-anak perempuan Pak Kiai adalah anak yang baik,
pintar dan shalehah serta selalu menunjukkan rasa sayang kepada ayah mereka.
Kalau teringat kepada almarhumah istrinya, maka rasa kepedihan di hati sirna
manakala memandang wajah anak-anak perempuannya. Mereka bagaikan obat bagi Pak
Kiai karena dapat menjadi penyejuk mata dan pendingin hatinya. Mungkin itu
menjadi salah satu faktor penguat dan
tumbuhnya kesabaran Pak Kiai menghadapi kelakuan putra yang membawa aib bagi diri dan keluarganya. Hampir setiap malam Badrun selepas kuliah
berkumpul dengan teman-teman di rumahnya. Yang menjadikan kesedihan Pak Kiai,
akhlak putranya Badrun sering mengajak kumpul rekan-rekan lelakinya dan mereka
melakukan perbuatan keji di rumahnya sebagaimana dilakukan oleh kaum Luth yaitu
homoseksual.
Rumahnya menjadi tempat rendevouz sesama
pria, tetapi Pak Kiai tidak mampu membimbing dan mengembalikan sifat putranya
menjadi seorang pria normal. Perbuatan tersebut baru diketahuinya sekitar tiga
tahun belakangan ini. Karena kesibukan Pak Kiai, terkadang melupakan pembinaan
di dalam rumahnya sendiri.
“Ananda” kata Pak Kiai.
“Ayah malu sebagai Kiai, panutan masyarakat di sini, mampu
membimbing orang lain tapi tidak mampu mendidik anak sendiri.” Lanjut ayahnya.
Badrun menjawab sekenanya: “Ayah, aku kan sudah dewasa
dan bebas dong menentukan jalan hidupku sendiri, jangan ayah selalu mencampuri
urusan anak remaja”.
“Tetapi kamu harus ingat, bahwa
Allah tidak diam dan selalu menyaksikan apa yang kita perbuat. Saya takut azab
Allah akan menimpa kita sekeluarga”, jawab Ayahnya.
“Ah... Ayah harus introspeksi diri, di mana kasih sayang kepada kami selama ini. Ayah, selalu meninggalkan kami
sejak pagi sampai malam hari, seakan-akan tidak ada waktu untuk kami.”
“Badrun” Pak Kiai memanggil anaknya dengan suara rendah, tapi tegas yang mencerminkan
kesedihan dan gundah gulana hatinya.
“Badrun memang bebas menentukan
jalan hidup, tapi harus sesuai dengan ajaran dan bimbingan agama kita. Jangan sampai kita dilaknat dan diazab seperti azab yang ditimpakan kepada kaum Luth dan keluarganya. Engkau sudah dewasa silahkan menentukan jalan hidupmu dengan segala
risiko”. Lanjut ayahnya.
Sulit untuk berdiskusi dengan anaknya karena Badrun senantiasa
mengedepankan emosi ketimbang logikanya. Selanjutnya Badrun membanting pintu
dan mengunci kamarnya, karena memang emosinya sulit terkendali, disebabkan nafsunya
lebih dipupuk subur ketimbang imannya.
Badrun telah belajar mengaji Al-Quran semasa kecilnya, juga ilmu agama yang diajarkan oleh ustaz di kampungnya. Sejak kanak-kanak, Badrun mengaji di Surau dekat
rumahnya, ba’da salat magrib hingga lepas salat isyak.
Musibah ini bagaikan badai dan angin kencang datangnya dari Allah Swt untuk menguji hamba yang
dicintai-Nya. Pak Kiai yakin bahwa Allah Swt sedang menatapnya, menyapanya dan
Pak Kiai selalu ingat pesan dalam firman-Nya bahwa Allah tidak akan menguji hamba-Nya
kecuali sudah ditakar kemampuan untuk menghadapi ujian tersebut. Allah sangat
mencintai orang-orang yang sabar.
Tidak hanya ibadah pokok saja yang dilakukan Pak Kiai dengan maksimal,
juga muamalah dilakukan dengan baik pula, siap membantu siapa saja, kapan saja
dan di mana saja orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Namun akhir-akhir
ini Pak Kiai, sering merenung dan introspeksi menghisab diri sendiri.
Apakah sesuatu yang wajar, apabila seseorang yang senantiasa membantu orang lain, sementara itu
tidak mampu menolong keluarganya sendiri untuk kembali ke jalan yang lurus.
Pernah Pak Januar seorang tetangga, meminta tolong kepada Pak Kiai untuk
mendoakan salah seorang putra mereka yang sangat sulit menjalankan perintah salat
lima waktu. Dengan segala kerendahan hati Pak Kiai menjelaskan; “Jangankan
untuk mendoakan orang lain, putra saya sendiri saya tidak mampu mendoakannya.
Bagaimana saya dapat membantu putra Anda, Pak Januar”, katanya.
Namun demikian masyarakat tetap yakin kepada kedekatan nurani Pak Kiai
kepada Allah Swt dan mereka tetap mengharapkan doa Pak Kiai untuk putra mereka.
Pak Kiai berdoa dan juga membekali Pak Januar dengan doa yang dipanjatkan
setiap selesai salat fardhu dan salat-salat sunat, karena akan lebih afdhal doa orang tuanya sendiri
sedangkan Pak Kiai hanya membantu jalannya saja. Alhamdulillah,
tidak dalam hitungan tahun harapan Pak Januar dikabulkan oleh
Allah Swt.
Sebenarnya Pak Kiai khawatir kalau
orang-orang kampung menganggap diri beliau lebih dari orang lain karena makbul
doanya. Hal tersebut dapat menjadikan seseorang menjadi sombong dan lupa diri, akhirnya ia akan
melupakan Tuhannya.
Hari silih berganti, setiap malam Pak Kiai melaksanakan salat tahajud
sekaligus mendoakan putranya agar diberikan hidayah oleh Allah Swt, kembali ke
jalan yang benar. Air mata mengalir dari pipinya yang sudah mulai berkerut
karena termakan usia yang sudah melampaui setengah abad. Namun bekas
ketawadhuan dan ketenangan di wajah Pak Kiai membawa kedamaian bagi siapa saja
yang memandang beliau. Terkadang dadanya bergerak turun naik sewaktu berdoa.
Gemuruh dadanya karena kepedihan atas musibah yang menimpa keluarganya.
Bagaimana mungkin, ia adalah seorang Kiai, seorang panutan tapi justru tidak
mampu mendidik putranya sendiri.
Pak Kiai sangat bersedih karena tidak mampu menolong anaknya. Sementara
itu beliau khawatir bahwa pada suatu saat nanti akan terjadi, ketika seorang bapak
tidak mampu menolong anaknya dan anak
tidak pula berdaya menolong bapaknya.
Sungguh tragis kehidupan ini.
“Ya Rabb jadikanlah anak-anakku
menjadi anak yang shaleh dan shalehah. Kabulkan doaku Ya Allah, Aamiin …..”,
terdengar rintihannya di ujung doa.
Di dalam keheningan malam, Pak Kiai melakukan perenungan, memfanakan diri
dengan memejamkan matanya. Hanya kalbunya saja yang naik menerawang berdialog
dengan Sang Pencipta. Jiwanya menembus cakrawala yang senyap, mendekat dan
semakin mendekat seolah bersimpuh di hadapan Sang Penciptanya. Beliau hilang
dalam kefanaan, tidak ada yang kekal di dunia ini, kecuali hanya Allah Swt satu-satunya
zat Yang Mahakekal.
“Ya Allah, hanya kepada Engkau aku menyembah dan hanya kepada Engkau aku
memohon pertolongan. Maka dari itu tolonglah hamba Ya Rabb, berikanlah jalan
terbaik bagi kami …aamiin. Kepada siapa lagi aku berharap kalau tidak kepada-Mu
Ya Allah. ”Kedua tangannya terangkat setinggi bahu dan menengadah mengharapkan
limpahan kasih sayang serta hidayah untuk anaknya tercinta. Entah sudah berapa
ribu kali suara lirihnya merintih keharibaan Allah: “Ya Allah, ampunilah dosaku
dan anak keturunanku … Aamiin”
“Rabbanaa hab lanaa min
azwajinaa wa dzurriyaatinaa qurrata a’yun waj’alnaa lil muttaqiina imaama” (QS. Al-Furqon, 25;74).
Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami, (yaitu) pasangan kami dan keturunan
kami yang menyenangkan hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi
orang-orang yang bertakwa. Doa ini selalu beliau dawamkan setiap habis salat.
Waktu terus berjalan, berbagai upaya sudah dijalani oleh Pak Kiai, tapi belum
membuahkan hasil. Kalau ujian dan cobaan lain
kurang berarti baginya, tapi mengenai Badrun yang satu ini, tak ada yang lebih berat rasanya. Kiai Achmad merasa serba salah. Kondisi anaknya
sekarang ini ibarat pepatah: “Sebagaimana buah kepayang, kalau dimakan mabuk, tapi
dibuang sayang.”
Tidak mungkin ia membuang putranya karena anak adalah titipan Allah Swt
melalui dirinya. Toh… pada hakikatnya
dirinya serta seluruh keluarga
adalah titipan sang Khalik, berarti bukan miliknya.
Allah merupakan pemilik jagat raya yang
luas ini beserta seluruh isinya.
Kepedihan hati yang mendalam dan berkesinambungan dihadapi
oleh Pak Kiai penuh kesabaran. Pak Kiai
mengadukan keperihan batinnya setiap malam dengan cucuran air mata kepada Sang Khalik; “Ya Allah, jangan Engkau siksa hamba di
akhirat nanti karena perbuatan anakku yang melanggar syariat-Mu, tetapi hamba
tidak sanggup menerima azab yang pedih di dunia ini apabila Engkau timpakan
kepadaku. Namun hamba ikhlas ya Rabb, dan menerima segala keputusan-Mu. Ya Rabb, berikanlah yang terbaik menurut-Mu dan terbaik bagiku serta
keluargaku.”
Di malam yang sepi, dalam kegundahan dan kepedihan hatinya, Pak Kiai
masih tetap senantiasa berdoa dengan khusuk dan ikhlas mengharap pertolongan-Nya. Namun belum juga ada
tanda-tanda Allah Swt mengabulkan pintanya. Pak Kiai senantiasa sabar, ikhlas
menerima cobaan ini. Yang membuat Pak Kiai kuat hatinya, karena masyarakat
memahami kondisi yang sedang dihadapi sebagai cobaan dari-Nya.
Tidak ada kurangnya lagi Pak Kiai mendidik keluarganya agar berbuat baik
sesuai dengan tuntunan agama, tapi cobaan sedang menerpanya.
Pak Kiai memang sedang menerima ujian yang berat dari Allah Swt. Justru dalam kehidupan
sehari-hari, banyak juga kita saksikan orang yang kurang membimbing anaknya,
ternyata menjadi anak yang patuh dan shaleh serta berhasil meraih kehidupan
duniawi. Allah berkuasa atas segala sesuatu. Walau hati dilanda kepedihan, tapi
Pak Kiai tidak pernah surut melakukan tugas dakwahnya, karena tugas tersebut
adalah panggilan jiwa sampai akhir hayatnya kelak.
Suatu malam, terjadi pemadaman listrik di kampung Pak Kiai. Hampir setiap rumah memasang lilin, lampu semprong kaca atau lampu sentir
yang memang disiapkan penduduk kampung untuk mengantisipasi manakala ada
pemadaman listrik dari PLN yang memang sering terjadi di daerah itu.
Di rumah Pak Kiai pun memasang lampu semprong kaca dan lilin untuk
kebutuhan penerangan. Saat itu Badrun dan adik-adiknya berada di rumah dan
sedang di kamar masing-masing. Sementara itu, Badrun sendirian di kamarnya
menyalakan lilin karena lampu semprong kaca untuk kamar adiknya, ruang tengah dan
dapur. Satu lampu lagi ditaruh di depan rumah, menantikan kedatangan Pak Kiai
pulang dari mengajar di Masjid malam itu.
Badrun menaruh lilin di atas meja belajarnya yang dibuat dari bahan kayu,
sambil mendengarkan lagu hiburan dari Siaran Radio Remaja yang dipancarkan dari
stasiun di kampungnya. Mungkin nahas waktu itu, Badrun yang merasa penat karena
seharian kuliah dan dilanjutkan aktivitas ekstra kulikuler yaitu kegiatan
kesenian sampai menjelang salat magrib di kampusnya, kemudian tanpa sengaja
tertidur di keremangan malam itu.
Listrik belum menyala juga, sementara Badrun tertidur pulas di kamarnya.
Tiba-tiba api telah berkobar menyambar material yang mudah terbakar di atas
meja belajarnya. Buku-buku yang berserakan di atas meja segera dilahap oleh
jago merah dan sulit untuk dikendalikan lagi karena telah membakar meja serta
rumah yang terbuat dari bangunan kayu tersebut.
Ternyata lilin terjatuh dan menyambar apa saja yang mudah terbakar di
atas meja belajarnya. Badrun meloncat, berteriak meminta bantuan; “Toloooong,
toloooong, kebakaran!” Dalam kegelapan
malam yang disinari kobaran cahaya api merah yang menggelegak di kamarnya,
Badrun terjatuh dan tangannya tertimpa runtuhan kayu membara. Namun ia masih
bisa menyelamatkan diri keluar dari kamarnya, walau dengan tangan yang terkena
bakaran kayu panas. Betapa panasnya api dunia, namun belum seberapa
dibandingkan dengan panasnya api akhirat.
Masyarakat sekitar membantu memadamkan api yang berkobar besar, sementara
mobil pemadam kebakaran baru tiba di lokasi setelah rumah hangus terbakar
menjadi abu. Dengan cepat si jago merah melahap rumah Pak Kiai yang terbuat
dari kayu dan sudah di huni lebih dari tiga perempat abad karena warisan
kakeknya yang juga seorang ulama. Harta Pak Kiai tinggal apa yang ada di badan,
dan beberapa dokumen penting lainnya.
Apa daya pada waktu itu! Pak
Kiai pulang dari tugas mengajar di kampung sebelah, mendapati rumahnya sudah
runtuh terbakar menjadi abu dan rata dengan tanah.
“Semuanya milik-Mu Ya Allah dan kembali kepada-Mu! ”
Anak-anaknya selamat, namun Badrun sudah dibawa ke
Rumah Sakit oleh tetangga untuk dilakukan pertolongan pertama luka bakar di
tangannya yang cukup parah. Dengan pengobatan yang intensif dan memerlukan
waktu yang cukup lama akhirnya luka bakarnya bisa pulih kembali, walaupun
bekasnya tidak bisa hilang seperti sediakala.
Pak Kiai, adalah orang yang sabar dan sedikit pun tidak terlihat guratan
kesedihan di wajahnya menghadapi musibah
kehilangan harta. Dalam kepedihan hati, tetap wajahnya memancarkan kasih sayang
kepada anak-anaknya, dan juga sebagai seorang ulama tampak tanda-tanda
ketinggian ilmu dan keikhlasan di wajahnya. Harta, istri dan anak-anak bukan
segalanya, hanya titipan Allah dan suatu saat nanti akan kembali lagi kepada Allah.
Apa yang berlaku dengan Badrun? Kejadian tersebut telah membuahkan penyesalan, karena dialah sebagai penyebab semua kejadian itu. Namun demikian dibalik peristiwa
tersebut ada pula hikmah yang besar, Badrun
melakukan kilas balik dengan
kelakuannya selama ini. Sewaktu
memandang wajah ayahnya yang penuh kesabaran, hatinya luluh dari kekerasan dan
kebekuan kalbu selama ini. “Aku telah
salah langkah, namun ayah masih tetap menyayangiku,” bisik hatinya.
Badrun sadar bahwa Allah Swt masih memberikan kesempatan kepadanya untuk
bertobat. “Mungkin ini azab yang ditimpakan kepada keluargaku, disebabkan
perilaku buruk selama ini yang telah jauh dari jalan Allah, sehingga keluargaku
juga ikut menanggung beban malu dan derita yang berat ini”, bisik Badrun sambil
menetes air matanya.
“Betapa panas api dunia, Ya Allah bagaimana hebatnya api nerakamu yang
menggelegak dengan bahan bakarnya manusia dan batu.”
Suara tersebut senantiasa terngiang di telinga Badrun. Selama ini ia
telah lupa kepada Allah, sehingga Allah pun melupakan dirinya. Tapi masih ada titik
cahaya kemilau tajam yang mampu menembus relung hatinya yang dalam, karena dulu
pernah ada benih cinta kepada Allah Swt yang diajarkan oleh ustaz dan orang tua
semasa kecilnya.
“Dosaku bagaikan buih di lautan. Apakah Allah Swt masih mengampuniku?”
Itu pertanyaan yang membuncah dalam batinnya disertai dengan deraian
air mata. Ia telah menzalimi diri
sendiri dan durhaka kepada kedua orang
tuanya.
Apakah ayah masih ridha melihat kelakuanku yang telah melanggar syariat
agama selama ini? Bagaimana Ibuku yang sudah dalam kubur yang gelap? Apakah
Ibuku disiksa karena kelakuanku?
Berbagai pertanyaan yang datang dari dalam dirinya dan menyerang dirinya
pula. Apakah pintu hidayah dan tobat masih dibuka oleh Allah?
Pak Kiai adalah orang yang dicintai oleh masyarakat di daerahnya, mungkin
manifestasi cinta Pak Kiai kepada Allah Swt melebihi cintanya kepada yang lain.
Tidak ada keluh kesah terdengar dan tidak juga tangannya ditengadahkan meminta
pertolongan selain kepada Allah Swt semata. Keyakinan terhadap keberadaan Allah
Swt yang demikian besar, dan
tentu Allah akan memberikan bantuan pula
dari tempat serta jalan yang tak terduga. Dalam waktu singkat rumah
Pak Kiai sudah berdiri lagi karena bantuan baik dari Pemerintah Daerah maupun
masyarakat yang senantiasa menimba ilmu darinya. Pak Kiai bersyukur dan
bersabar. Tidak ada kesusahan bagi orang shaleh dalam hidup ini, karena apa pun
yang terjadi pasti ada hikmahnya.
Allah Swt telah menurunkan musibah kepada Pak Kiai dan keluarganya selagi
beliau berada di dunia, mudah-mudahan diselamatkan dari siksa pedih nantinya di
akhirat yang kekal. Tetapi setelah musibah kebakaran rumahnya, ternyata Allah
Swt segera mengembalikan rumahnya dalam bentuk yang lebih baik karena bantuan
berbagai pihak. Rumah kayu yang selama ini
ditempati, sudah berganti dengan rumah permanen walaupun kecil namun layak dan
indah dipandang mata.
Allah telah mengabulkan doanya, ternyata dengan kesabaran Pak Kiai selama
ini menghadapi tingkah laku putranya, hidayah datang kedalam hati sanubari Badrun
untuk kembali ke jalan yang lurus. Badrun menyadari perbuatannya telah
melanggar syariat agama dengan perbuatan keji, homoseksual sebagaimana
dilakukan kaum Nabi Luth, akibatnya Allah menurunkan azab kepadanya.
Dengan kejadian tersebut Pak Kiai bersyukur, karena Allah tidak mengazab
yang berat kepada dirinya seperti azab kepada umat Nabi Luth yaitu
menghujaninya batu dan dari tanah yang terbakar. Pak Kiai bersyukur karena
mereka sekeluarga diselamatkan dari musibah, terutama Badrun sudah menyadari
kesalahannya dan dapat hidup normal kembali.
Dukungan dari keluarga sangat dibutuhkan Pak Kiai, karena ia adalah
seseorang yang ditokohkan dan menjadi contoh teladan bagi kaum di kampungnya.
Dengan kasih sayang Allah Swt, keluarga Pak Kiai dapat beraktivitas seperti
semula dan semakin menambah tawadhu dan keyakinannya bahwa Allah Mahamenatap
dan tidak pernah meninggalkan orang-orang yang beriman kepada-Nya.
Ya Allah Engkaulah yang membolak balikkan hati kami, oleh karena itu
condongkanlah hati kami senantiasa kepada kebenaran, agar kami dapat melaksanakan segala perintah dan menjauhkan larangan-Mu. Hantarkan kami ke jalan yang lurus. Mantapkan Islam kami dan kokohkanlah iman kami ….. amin Ya Robbal ‘alamiin.
Selanjutnya doa pamungkas tetap dilantunkan oleh Pak Kiai setiap salat
malam, karena telah merasakan betapa beratnya menerima cobaan dan ujian dari
Rabbnya. Perasaan ingin berjumpa segera dengan Sang Khalik dicurahkan dalam
rintihan kerinduan. Allah sangat mengasihi hambanya yang bertobat, melebihi
kasih sayang orang tua kepada anaknya.
Dari kisah tersebut di atas, baik yang dialami oleh para Nabi atau oleh
Pak Kiai Achmad, ternyata kita tidak mampu memberikan cahaya keimanan baik
kepada istri, anak atau kepada sanak kerabat terkasih lainnya. Saking cintanya
Rasululullah Saw kepada pamannya Abu Thalib, beliau memohonkan ampunan bagi
pamannya dan pada waktu itu belum ada larangan bagi beliau untuk memohon
ampunan setelah akhir hayat pamannya. Namun Allah mengingatkan Rasululullah
Saw; “Sungguh, engkau (Muhammad) tidak
dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi
petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang
yang mau menerima petunjuk”, (QS Al-Qasas, 28;56).
Dalam kesunyian malam Kiai Achmad merapatkan keningnya di atas hamparan serban
putihnya, sembari menyebut asma-Nya; Ya
Allah, Ya Rohmaan, Ya Rohiim, Ya Kuddus, Ya Salam …… terima kasih Ya Allah,
Engkau telah mengembalikan intan permata yang sempat menghilang dan kini sudah
berada kembali di pangkuanku. Ampunilah hamba Ya Allah, beri petunjuk anak dan
keturunanku. Tiada daya dan upaya, hanya kepada-Mu hamba menyembah dan
kepada-Mu hamba memohon pertolongan serta berserah diri, .....Aamiin.