PENDAHULUAN
Masa
Khulafa Ar Rasyidin berlangsung selama kurang lebih 30 tahu setelah wafatnya nabi
kita Muhammad SAW (tahun ke-10 H) hingga sampai da’wah dimasa khulafa Ar Rasyidin hingga terbunuhnya
Ali bin Abu Thalib RA (tahun 40 H). Orang yang pertama sebagai pengganti Nabi meneruskan
kepemimpinan adalah Abu Bakar yang telah di baiat sebagai khalifah pengganti
Rasulullah SAW. Kekhalifahannya berlangsung dua tahun 3 bulan dan 8 hari. [1]
Setelah
kekhalifahan digantikan oleh Umar bin Khattab RA, yang berlangsung selama 10
tahun 6 ½ bulan.[2]
Kemudian digantikan oleh Usman bin Affan RA yang menjadi Khalifah, masa
kekhalifahannya berlangsung cukup lama yaitu 12 tahun kurang 10 hari.[3]
Setelah beliau ke khalifahan dilanjutkan oleh Ali bin Abi Thalih setelah di
baiat, yang berlangsung sekitar 5 tahun.[4]
Dalam hadis dari Safinah RA dijelaskan, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:
“kekhalifahan nubuah itu berlangsung 30 tahun, kemudian Allah memberikan
kerajaan kekuasaan bagi siapa yang ia kehendaki.”
Definisi Da’wah menurut berbagai ahli da’wah dijelaskan
sebagai berikut:
Lalu apakah yang dimaksud da’wah itu
dalam hal ini dijelaskan dalam buku karya sekh Ali Mahfud bahwa da’wah itu adalah:
Menurut
Syekh Ali Mahfudh, dakwah ialah :
حث النا س على الخير والهدى والا مر
با المعروف والنهي عن المنكر ليفو زوا بسعا دة العا جل والا جل
Artinya:
"Mendorong manusia agar berbuat kebajikan dan petunjuk, menyeruh mereka
berbuat yang ma’ruf dan melarang mereka berbuat mungkar, agar mereka
mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat."[5]
M. Isa Anshary memberikan definisi bahwa da’wah Islamiyah
artinya menyampaikan seruan Islam, mengajak dan memanggil umat manusia agar
menerima dan mempercayai keyakinan dan pandangan hidup Islam. Selanjutnya
dakwah di era modern adalah da’wah yang pelaksanaannya disesuaikan dengan
kondisi dan keadaan masyarakat modern, baik dari segi materi, metode, dan media
yang akan digunakan. Sebab mungkin saja materi yang disampaikan itu bagus,
tetapi metode atau media yang digunakan tidak sesuai dengan kondisi masyarakat
modern, maka da’wah akan mengalami kegagalan.
Begitu pula sebaliknya, mungkin saja media atau metode yang
digunakan sesuai dengan kondisi masyarakat modern, akan tetapi materi yang
disampaikan kurang tepat, apalagi bila tampilan kemasannya kurang menarik, juga
dakwah akan mengalami kegagalan. Oleh karenanya, untuk mencapai tujuan da’wah
yang efektif di era modern maka juru da’wah sebaiknya adalah orang yang
memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas, menyampaikan materi atau isi pesan
da’wah yang aktual, dengan menggunakan metode yang tepat dan relevan dengan
kondisi masyarakat modern, serta menggunakan media komunikasi yang sesuai
dengan kondisi dan kemajuan masyarakat modern yang dihadapinya.
Tujuan dari
da’wah yang sesungguhnya ialah proses penyelenggaraan da’wah yang terdiri dari
berbagai aktivitas sebagai mana misi da’wah itu sendiri, yang dilakukan guna
mencapai tujuan yang hakiki, yakni mencapai kebahagiaan di dunia dan begitu
juga bahagia di akhirat nantinya. Nilai tertentu dapat diterapkan dicapai dan
diperoleh dengan jalan melakukan penyelenggaraan da’wah itu yang disebut tujuan da’wah. Setiap penyelenggara
da’wah harus mempunyai tujuan. Tanpa ada tujuan yang harus diwujudkan, maka
penyelenggara da’wah tidak mempunyai arti apa-apa. Bahkan hanya menjadi
pekerjaan yang sia-sia yang akan menghamburkan tenaga, pikian, biaya semata.
Bagi proses da’wah, tujuan adalah sebagai faktor yang sangat
penting dan sentral. Pada tujuan itulah dilandaskan setiap tindakan dalam
rangka usaha kerja sama da’wah itu. Ini yang menentukan system dan bentuk usaha
kerjasama da’wah. Tujuan adalah yang menjadi landasan utamanya, disamping itu
tujuan da’wah juga menentukan langkah-langkah penyusunan tindakan da’wah dalam
kesatuan-kesatuan horizontal dan vertikal, serta penentuan orang-orang yang
berkompeten. Bahkan lebih dari itu tujuan adalah merupakan suatu yang
senantiasa yang memberikan inpirasi dan motifasi yang menyebabkan mereka
bersedia melakukan tugas-tugas yang lebih dulu telah diamanahkan. Rumusan
da’wah yang jelas akan memudahkan siapa saja, terutama para pelaku da’wah dalam
memahami tujuan da’wah yang hendak dicapai.
Selanjutnya untuk memudahkan dan mensistematiskan para
pelaksanaan dan penyelenggara da’wah maka disamping perlunya ditetapkan dan
dirumuskan nilai atau hasil ahir yang harus dicapai oleh keseluruhan tindakan
da’wah, maka usaha da’wah yang mempunyai cakupan yang sangat luas itu perlu
dibagi-bagi dalam berbagai bidang usaha. Dengan ketentuan dimasing-masing usaha
harus ditetapkan dan dirumuskan nilai atau hasil yang harus dicapai. Nilai atau
hasil terahir yang ingin dicapai oleh keseluruhan tindakan da’wah adalah yang
merupakan tujuan utama dari da’wah. Sedangkan nilai-nilai yang ingin dicapai
dalam bidang-bidang khusus adalah merupakan tujuan atau sasaran departemental
dari da’wah. Pembagian tujuan dengan tujuan utama dan tujuan departemental
adalah dilihat dari segi hirarkinya.[6]
Tujuan da’wah yang utama ataupun yang departemental, tidak
dapat dicapai hanya melakukan satu tindakan saja melainkan harus dicapai dengan
melakukan rangkaian tindakan secara tahap demi tahap dalam periode-perioda
tertentu. Pada setiap tahapan yang dilakukan pada setiap target yang harus
dicapai. Dengan demikian sasaran atau target da’wah adalah merupakan anak
tangga kearah pencapaian tujuan utama da’wah.
Tujuan utama da’wah yang dimaksud adalah nilai atau hasil
akhir yang ingin dicapai atau diperoleh dari keseluruhan tindakan da’wah. Untuk
tercapai tujuan inilah maka semua penyusunan rencana tindakan da’wah harus
terarah ditujukan kepeda objek da’wah tersebut. Tujuan utama da’wah sebagaimana
telah dirumuskan ketika memberikan pegertian tentang da’wah yakni “tercapainya
kebahagiaan dunia dan akhirat yang diridhai
oleh Allah SWT”.
Kebahagiaan dan kesejahteraan hidup didunia dan diakhirat yang diridhai oleh Allah SWT
adalah merupakan suatu nilai atau hasil yang diharapkan dapat dicapai oleh
keseluruhan usaha da’wah. Ini berarti bahwa usaha da’wah, baik dalam bentuk
menyeru atau mengajak umat manusia agar bersedia menerima dan memeluk Islam,
maupun dalam bentuk amar ma’ruf nahi munkar
tujuannya adlah mendapat ridha dari Allah SWT.
Nilai atau hasil akhir yang ingin dicapai oleh keseluruhan
usaha da’wah itu pada hakikatnya adalah merupakan akibat atau konsekuensi logis
saja dari dilaksanakannya usaha-usaha itu. Hal ini dengan maksud mengajak
manusia kejalan islam yang dilakukan dengan sungguh-sungguh, demikian pula
usaha merealisir ajaran Islam dalam segala aspek kehidupan serta amar ma’ruf nahi munkar dijalankan
dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian dapat diharapkan umat manusia akan
memperoleh buahnya berupa kebahagiaan dan kesejahteraan hidup.
B.
Corak Da’wah Dimasa Khulafa Ar-Rasyidin
Dalam
pembahasan ini akan dipaparkan perjalanan da’wah di masa khulafa Ar Rasyidin
dalam menjalankan misi da’wah yang mulia ini. Gerkan da’wah Islam telah
berlangsung di masa itu, dengan pola penyampaian Islam dan pengajarannya serta penerapan
terhadap hukum-hukum dalam agama Islam yang
akan diterapkan dalam kehidupan kaum
muslim. Ekspansi wilayah Islam terus bergerak semakin luas di masa ke
khalifahan Ali bin Abu Thalib, terutama dimasa khalifah yang sebelumnya, dan
berhenti sejenak pada masa Ali bin Abu Thalib, karna waktu itu kaum muslimin
disibukkan oleh persoalan peristiwa internal kaum muslim itu sendiri dan
berbagai macam fitnah dan malapetaka.[7]
Dimasa kekhalifahan Abu Bakar lebih
banyak dipusatkan untuk memerangi orang-orang yang murtad. Setelah Abubakar
menumpas gerakan murtad dan juga tidak segan-segan memerangi orang-orang yang
enggan membayar zakat dan disamping itu terus memperkuat pertahanan dibidang militer dengan pasukan
Usamah RA, yang memulai pergerakan kemudian di awali dari pembukaan kota-kota
Islam dan terus mengarahkan pasukan untuk mensyiarkan agama Islam kepada manusi
dan berjihad untuk meninggikan agama Allah di muka bumi.
Maka Ia mengarahkan Khalid bin Walid
dan pasukannya kedataran tinggi di Irak serta terus menyebar hingga sampai ke
India, yaitu kota Ablah dan menyatukan
manusia atas dasar aqidah Islam dan menyeru mereka kepada agama Allah Azza
Wajalla.[8]
Kerena itu Khalid menulis surat kepada Hurmus, seorang hakim pelabuhan di
selatan Irak, menyeru untuk bersegera kepada islam atau membayar jizyah atau
perang, namun tidak ada jawaban yang akhirnya berujung pada peperangan didaerah
Khashimah yang sekarang kita kenal dengan nama Kuwait. Peristiwa ini dikenal
dengan pertempuran Dzatu Salasil dimana dalam pertempuran ini kaum muslim
memperoleh kemenangan yang gemilang dan Hurmuz mati terbunuh. Setelah itu
menyebarkan Islam kedaerah timur iran dan kedaerah utara Irak.
Setelah itu kaum muslim menang menaklukkan lawannya dalam pertempuran An-
Nahr dekat kota Wasith dan sekitarnya, sehingga mereka sampai kekota Al Hairah
dan Anbar yang terletak disebelah barat kota Bagdad. Mereka terus
berusaha melakukan ekspansi sampai Abu Bakar memanggil Khalid bin Walid RA agar
menuju ke daerah Syam yang dikenal saat ini dengan nama Syiria untuk memperkuat
tentara kaum muslim yang ada disana.
Khalid bin Walid bersama tentaranya
berangkat menuju Syam (Syiria) sekarang, untuk mengikuti pembukaan kota.
Setelah meninggalkan Al Musana bin Haris di Irak dan tentaranya guna untuk
bertugas di bumi Irak. Khalid bin walid mengikuti berbagai pertepuran di negara
Syam dengan Abu Ubaidah bin Al Jarroh RA, sampai terjadi pertempuran Yarmuk
yang dahsyat yang menghancurkan musuh.[9]
Di tengah-tengah perjalanan da’wah
khalifah pertama Abubakar As- Siddiq RA meninggal dunia dan selanjutnya kekhalifahan
dipegang oleh Umar bin Khattab RA. Khalifah yang kedua ini masih terus
melakukan ekspansi wilayah Islam dan mengirim tentara ke Irak dalam pertempuran
Al- Qodisiyah pada tahun 14 Hijrah dengan panglima perang Sa’ad bin Abiwaqos
RA. Peperangan ini menghancurkan pasukan Restum dengan dahsyat.
Setelah itu pergerakan Islam
berlangsung terus sampai ke ibu kota Persia (Madain) dan dapat menguasainya
pada tahun 16 Hijrah. Ketika itu Saad bin Abi Waqos RA berdama pasukannya
shalat di Istana Kisra Anusirwan.[10]
Kedian kaum muslim melanjutkan pembebasan kota wilayah di wilayah bumi Irak dan
menghancurkan Persia dimana kemenangan yang menentukan bagi mereka terjadi
dalam perempuran Nahawand, yang dinamai fathul Futuh, ditangan Hud Zaifah bin
Al-Yaman RA, kemudian terus maju hingga dapat membebaskan kota Isfahan ,
Istakhar dan kota-kota Khurasan.
Setelah itu tentara Islam dari Iran
diarahkan kedaerah diseberang sungai, terus menuju bumi Persia dan sekitar Al
Kirman hingga mendekati Negara Sind di India. Setelah penaklukan itu jadilah
seluruh negara Persia masuk kedalam wilayah kekuasaan kaum Muslim. Di Negara
Syam (Syiria), dalam pembebasan kota ini, kaum muslimin dengan panglima perang
dipinpin oleh Abu Ubaidah bin Al-Jarrah RA juga terus dilanjutkan. Setelah
selesai menaklukkan kota Yordan perjalanannya terus ke- Damaskus kemudian terus
ke timur Suriah, sehingga di negara Syam takada yang tertinggal selain Baitul Maqdis, maka kaum
muslimin dengan pimpinan Amer bin Al-Ash
mengarah kesana. Penduduk daerah itu meminta berdamai dengan menghadirkan
Amirul mukminin Umar bin Khattab RA untuk menerima kota tersebut. Umar bin
Khattab RA datang serta menerima kota tersebut lalu memasukinya dan
bertanggungjawab atas keamanan penduduk yang ada didalamnya, baik harta, jiwa
mereka serta syiar agamanya.
Mesir juga telah mengadakan
perdamaian dengan Amer bin Al-Ash RA namun penduduknya berusaha untuk membatalkannya,
kemudian di masa Usman RA, kembali meminta Amer sendiri datang kesana untuk
menundukkan mereka kembali dibawah naungan panji-panji Islam. Penaklukan wilayah masih terus dilakukan
hingga masa Usman bin Affan RA hingga sampai kedaerah sebelah barat Afrika dan
negara seberang sungai , hingga kaum mulim sampai kekota Kabul di Afganistan
dan kota Gazanah di Turki, begitu terus meluas hingga ke Amuriyah Azerbaijan
hingga ujung negara Armenia dan sebagian wilayah Turkestan sebelah selatan laut
Qoswain.[11]
Begitu juga dalam penaklukan kota
An-Naubah dan Negara Sudan di selatan Mesir. Kaum Muslim menggunakan kapal laut
sebagai trasportasi, dalam penguasaan kota kepulauan Qurbus dan sebagian besar
wilayah kepulauan laut Tengah pada tahun 28 Hijrah ditangan Muawiyah bin Abu
Sufyan RA. Perluasan geokrafis pada masa
ini disertai oleh perluasan pemikiran, dimana mayoritas penduduk negera yang
ditaklukkan masuk Islam. Mereka melihat hanya dalam Islam sebaik-baik agama
dari apa yang mereka miliki dan sebaik-baik pelindung untuk kondisi mereka saat
itu.
Gerakan
pemikiran dakwah tidak berhenti sampai disini saja akan tetapi memancar
didalamnya gerakan majlis-majlis ilmu dan pengajaran serta orang-orang muslim
pada periode ini sangat bersungguh-sungguh menjaga persatuan dan kebudayaan dan
kejiwaan yang merupakan pilar yang kuat bagi penaklukan tersebut. Diantara
kesungguhan mereka dalam mengembangkan pemikiran Islam yang nampak jelas pada
periode ini dengan ditandai oleh:
1. Pemeliharaan
Al Qur’an Al Karim dan pengumpulannya untuk yang pertama kali dimasa Abubakar
RA, dan kemudian penyatuan mushaf pada masa kekhalifahan Usman bin Affan RA.[12]
2.
Kesungguhan
dalam mensyiarkan agama Islam terutama diantara kaum muslimin dan memerangi
kebodohan dalam Islam. Setelah itu orang-orang muslim dapat memperoleh
pelajaran agama dari sahabat yang mulia yang telah tersebar di berbagai pelosok
mulai dari Negara, perkotaan hingga kedaerah-daerah, syiar ini terus berkembang
terutama dimasa kekhalifahannaya Usman bin Affan RA.
3.
Memelihara kitab
Al Quran dengan sungguh-sungguh memelihara kitab dari tuhan mereka dan sunnah
Nabinya. Masa da’wah ini merupakan masa yang sangat penting setelah masa
Rasulullah SAW disaat pertalian masa antara kebudayaan merupakan masa kelanjutan.
Oleh karenanya banyak
musuh Islam yang ingin menghancurkan kekuatan Islam (menyimpangkan sejarah
penaklukan Islam) dan membuat berbagai macam peristiwa, menebarkan fitnah yang
terjadi dimasa itu sebagai wahana untuk mencerca gerakan Islam, hingga pada
akhirnya banyak orientalis di abad ke-19 menafsirkan penaklukan Islam ini
secara materil semata-mata untuk itu, menyebutkan bahwa peperangan yang digencarkan
kaum muslim adalah sebagai perang ekonomi yang dibelakang itu mencari kekuasaan
untuk kehidupan dan kemewahan sarananya, serta masih banyak lagi
sebutan-sebutan yang diikuti banyak orang yang cendrung kebarat (politik jahat
westernis).
[1] Bagian ketiga dari buku, Al Manhaj Al Haraky Li As-Sirah An Nabawiyah,
karya Muhammmad Munir Al Ghadhaban h.
208
[2] Dapat dilihat dalam bukunya Ibnu
Hazem, Jamalu futuhil Islam, risalah
ke-empat h.354
[3] Dapat dilihat lebih lanjut dalam
bukunya Ibnu Hazem, Jamalu futuhil Islam,
risalah ke-empat h. 354
[4] Dapat dilihat lebih lanjut dalam
bukunya Ibnu Hazem, Jamalu futuhil Islam,
risalah ke-empat h. 355
[6]
Apabila dilihat dari segi proses pencapaiannya, maka maka
tujuan utama adalah merupakan ultimate goal dari tujuan ahir. Sedangkan tujuan
departemental adalah merupakan intermediatre goal atau yang dikatakan tujuan
perantara.
[7]
Lihat dalam buku Ilmu Dakwah perinsip dan
kode Etik, Berdakwah menurut Al-Quran dan As Sunnah, karya Sekh Muhammad
Abu Al Fatah Al Bayanuni h. 114
[8] Lihat dalam buku Ilmu Dakwah perinsip dan kode Etik,
Berdakwah menurut Al Quran dan As Sunnah, karya Sekh Muhammad Abu Al Fatah
Al Bayanuni h. 115
[9] Ilmu Dakwah perinsip dan kode Etik, Berdakwah menurut Al Quran dan As
Sunnah, karya Sekh Muhammad Abu Al Fatah Al Bayanuni h. 116
[10] Ilmu
Dakwah perinsip dank ode Etik, Berdakwah menurut Al Quran dan As Sunnah, karya Sekh Muhammad Abu Al Fatah
Al Bayanuni h. 117
[11] Dapat dilihat dalam Al Bidayah Wa An nihayah, karya Ibnu Al Atsir,
jilid 7 h. 169
[12] Dapat dilihat dalam hadis-hadis
pengumpulan Al Quran pada zaman Abu Bakar dalam shahih Bukhari, hadis nomor 4987, Bab Jam’ul Quran, dan dalam Fathul
Bariy jilid 9 h. 10-11, juga hadis-hadis penyatuan mushaf dimasa Usman bin
Affan RA dalam shahih bukhari nomor 4987, Bab Jam’ul Quran, dan dalam Fathul Bariy jilid 9 h. 11.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar