Rabu, 02 Januari 2013

CORAK DA’WAH DIMASA KHULAFA AR-RASYIDIN


PENDAHULUAN
            Masa Khulafa Ar Rasyidin berlangsung selama kurang lebih 30 tahu setelah wafatnya nabi kita Muhammad SAW (tahun ke-10 H) hingga sampai  da’wah dimasa khulafa Ar Rasyidin hingga terbunuhnya Ali bin Abu Thalib RA (tahun 40 H). Orang yang pertama sebagai pengganti Nabi meneruskan kepemimpinan adalah Abu Bakar yang telah di baiat sebagai khalifah pengganti Rasulullah SAW. Kekhalifahannya berlangsung dua tahun 3 bulan dan 8 hari. [1]
            Setelah kekhalifahan digantikan oleh Umar bin Khattab RA, yang berlangsung selama 10 tahun 6 ½ bulan.[2] Kemudian digantikan oleh Usman bin Affan RA yang menjadi Khalifah, masa kekhalifahannya berlangsung cukup lama yaitu 12 tahun kurang 10 hari.[3] Setelah beliau ke khalifahan dilanjutkan oleh Ali bin Abi Thalih setelah di baiat, yang berlangsung sekitar 5 tahun.[4] Dalam hadis dari Safinah RA dijelaskan, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: “kekhalifahan nubuah itu berlangsung 30 tahun, kemudian Allah memberikan kerajaan kekuasaan bagi siapa yang ia kehendaki.”
Definisi Da’wah menurut berbagai ahli da’wah dijelaskan sebagai berikut:
            Lalu apakah yang dimaksud da’wah itu dalam hal ini dijelaskan dalam buku karya sekh Ali Mahfud bahwa da’wah itu adalah:
Menurut Syekh Ali Mahfudh, dakwah ialah :
حث النا س على الخير والهدى والا مر با المعروف والنهي عن المنكر ليفو زوا بسعا دة العا جل والا جل
Artinya: "Mendorong manusia agar berbuat kebajikan dan petunjuk, menyeruh mereka berbuat yang ma’ruf dan melarang mereka berbuat mungkar, agar mereka mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat."[5]
M. Isa Anshary memberikan definisi bahwa da’wah Islamiyah artinya menyampaikan seruan Islam, mengajak dan memanggil umat manusia agar menerima dan mempercayai keyakinan dan pandangan hidup Islam. Selanjutnya dakwah di era modern adalah da’wah yang pelaksanaannya disesuaikan dengan kondisi dan keadaan masyarakat modern, baik dari segi materi, metode, dan media yang akan digunakan. Sebab mungkin saja materi yang disampaikan itu bagus, tetapi metode atau media yang digunakan tidak sesuai dengan kondisi masyarakat modern, maka da’wah akan mengalami kegagalan.
Begitu pula sebaliknya, mungkin saja media atau metode yang digunakan sesuai dengan kondisi masyarakat modern, akan tetapi materi yang disampaikan kurang tepat, apalagi bila tampilan kemasannya kurang menarik, juga dakwah akan mengalami kegagalan. Oleh karenanya, untuk mencapai tujuan da’wah yang efektif di era modern maka juru da’wah sebaiknya adalah orang yang memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas, menyampaikan materi atau isi pesan da’wah yang aktual, dengan menggunakan metode yang tepat dan relevan dengan kondisi masyarakat modern, serta menggunakan media komunikasi yang sesuai dengan kondisi dan kemajuan masyarakat modern yang dihadapinya.
            Tujuan dari da’wah yang sesungguhnya ialah proses penyelenggaraan da’wah yang terdiri dari berbagai aktivitas sebagai mana misi da’wah itu sendiri, yang dilakukan guna mencapai tujuan yang hakiki, yakni mencapai kebahagiaan di dunia dan begitu juga bahagia di akhirat nantinya. Nilai tertentu dapat diterapkan dicapai dan diperoleh dengan jalan melakukan penyelenggaraan da’wah itu yang disebut tujuan da’wah. Setiap penyelenggara da’wah harus mempunyai tujuan. Tanpa ada tujuan yang harus diwujudkan, maka penyelenggara da’wah tidak mempunyai arti apa-apa. Bahkan hanya menjadi pekerjaan yang sia-sia yang akan menghamburkan tenaga, pikian, biaya semata.
Bagi proses da’wah, tujuan adalah sebagai faktor yang sangat penting dan sentral. Pada tujuan itulah dilandaskan setiap tindakan dalam rangka usaha kerja sama da’wah itu. Ini yang menentukan system dan bentuk usaha kerjasama da’wah. Tujuan adalah yang menjadi landasan utamanya, disamping itu tujuan da’wah juga menentukan langkah-langkah penyusunan tindakan da’wah dalam kesatuan-kesatuan horizontal dan vertikal, serta penentuan orang-orang yang berkompeten. Bahkan lebih dari itu tujuan adalah merupakan suatu yang senantiasa yang memberikan inpirasi dan motifasi yang menyebabkan mereka bersedia melakukan tugas-tugas yang lebih dulu telah diamanahkan. Rumusan da’wah yang jelas akan memudahkan siapa saja, terutama para pelaku da’wah dalam memahami tujuan da’wah yang hendak dicapai.
Selanjutnya untuk memudahkan dan mensistematiskan para pelaksanaan dan penyelenggara da’wah maka disamping perlunya ditetapkan dan dirumuskan nilai atau hasil ahir yang harus dicapai oleh keseluruhan tindakan da’wah, maka usaha da’wah yang mempunyai cakupan yang sangat luas itu perlu dibagi-bagi dalam berbagai bidang usaha. Dengan ketentuan dimasing-masing usaha harus ditetapkan dan dirumuskan nilai atau hasil yang harus dicapai. Nilai atau hasil terahir yang ingin dicapai oleh keseluruhan tindakan da’wah adalah yang merupakan tujuan utama dari da’wah. Sedangkan nilai-nilai yang ingin dicapai dalam bidang-bidang khusus adalah merupakan tujuan atau sasaran departemental dari da’wah. Pembagian tujuan dengan tujuan utama dan tujuan departemental adalah dilihat dari segi hirarkinya.[6]
Tujuan da’wah yang utama ataupun yang departemental, tidak dapat dicapai hanya melakukan satu tindakan saja melainkan harus dicapai dengan melakukan rangkaian tindakan secara tahap demi tahap dalam periode-perioda tertentu. Pada setiap tahapan yang dilakukan pada setiap target yang harus dicapai. Dengan demikian sasaran atau target da’wah adalah merupakan anak tangga kearah pencapaian tujuan utama da’wah.
Tujuan utama da’wah yang dimaksud adalah nilai atau hasil akhir yang ingin dicapai atau diperoleh dari keseluruhan tindakan da’wah. Untuk tercapai tujuan inilah maka semua penyusunan rencana tindakan da’wah harus terarah ditujukan kepeda objek da’wah tersebut. Tujuan utama da’wah sebagaimana telah dirumuskan ketika memberikan pegertian tentang da’wah yakni “tercapainya kebahagiaan dunia dan akhirat yang diridhai oleh Allah SWT”.
Kebahagiaan dan kesejahteraan hidup didunia dan diakhirat yang diridhai oleh Allah SWT adalah merupakan suatu nilai atau hasil yang diharapkan dapat dicapai oleh keseluruhan usaha da’wah. Ini berarti bahwa usaha da’wah, baik dalam bentuk menyeru atau mengajak umat manusia agar bersedia menerima dan memeluk Islam, maupun dalam bentuk amar ma’ruf nahi munkar tujuannya adlah mendapat ridha dari Allah SWT.  
Nilai atau hasil akhir yang ingin dicapai oleh keseluruhan usaha da’wah itu pada hakikatnya adalah merupakan akibat atau konsekuensi logis saja dari dilaksanakannya usaha-usaha itu. Hal ini dengan maksud mengajak manusia kejalan islam yang dilakukan dengan sungguh-sungguh, demikian pula usaha merealisir ajaran Islam dalam segala aspek kehidupan serta amar ma’ruf nahi munkar dijalankan dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian dapat diharapkan umat manusia akan memperoleh buahnya berupa kebahagiaan dan kesejahteraan hidup.
B. Corak Da’wah Dimasa Khulafa Ar-Rasyidin
            Dalam pembahasan ini akan dipaparkan perjalanan da’wah di masa khulafa Ar Rasyidin dalam menjalankan misi da’wah yang mulia ini. Gerkan da’wah Islam telah berlangsung di masa itu, dengan pola penyampaian Islam dan pengajarannya serta penerapan terhadap  hukum-hukum dalam agama Islam yang akan  diterapkan dalam kehidupan kaum muslim. Ekspansi wilayah Islam terus bergerak semakin luas di masa ke khalifahan Ali bin Abu Thalib, terutama dimasa khalifah yang sebelumnya, dan berhenti sejenak pada masa Ali bin Abu Thalib, karna waktu itu kaum muslimin disibukkan oleh persoalan peristiwa internal kaum muslim itu sendiri dan berbagai macam fitnah dan malapetaka.[7]
            Dimasa kekhalifahan Abu Bakar lebih banyak dipusatkan untuk memerangi orang-orang yang murtad. Setelah Abubakar menumpas gerakan murtad dan juga tidak segan-segan memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat dan disamping itu terus memperkuat  pertahanan dibidang militer dengan pasukan Usamah RA, yang memulai pergerakan kemudian di awali dari pembukaan kota-kota Islam dan terus mengarahkan pasukan untuk mensyiarkan agama Islam kepada manusi dan berjihad untuk meninggikan agama Allah di muka bumi.
            Maka Ia mengarahkan Khalid bin Walid dan pasukannya kedataran tinggi di Irak serta terus menyebar hingga sampai ke India, yaitu kota  Ablah dan menyatukan manusia atas dasar aqidah Islam dan menyeru mereka kepada agama Allah Azza Wajalla.[8] Kerena itu Khalid menulis surat kepada Hurmus, seorang hakim pelabuhan di selatan Irak, menyeru untuk bersegera kepada islam atau membayar jizyah atau perang, namun tidak ada jawaban yang akhirnya berujung pada peperangan didaerah Khashimah yang sekarang kita kenal dengan nama Kuwait. Peristiwa ini dikenal dengan pertempuran Dzatu Salasil dimana dalam pertempuran ini kaum muslim memperoleh kemenangan yang gemilang dan Hurmuz mati terbunuh. Setelah itu menyebarkan Islam kedaerah timur iran dan kedaerah utara Irak.
            Setelah itu kaum muslim menang menaklukkan lawannya dalam pertempuran An- Nahr dekat kota Wasith dan sekitarnya, sehingga mereka sampai kekota Al Hairah dan Anbar yang terletak disebelah barat kota Bagdad. Mereka terus berusaha melakukan ekspansi sampai Abu Bakar memanggil Khalid bin Walid RA agar menuju ke daerah Syam yang dikenal saat ini dengan nama Syiria untuk memperkuat tentara kaum muslim yang ada disana.
            Khalid bin Walid bersama tentaranya berangkat menuju Syam (Syiria) sekarang, untuk mengikuti pembukaan kota. Setelah meninggalkan Al Musana bin Haris di Irak dan tentaranya guna untuk bertugas di bumi Irak. Khalid bin walid mengikuti berbagai pertepuran di negara Syam dengan Abu Ubaidah bin Al Jarroh RA, sampai terjadi pertempuran Yarmuk yang dahsyat yang menghancurkan musuh.[9]
            Di tengah-tengah perjalanan da’wah khalifah pertama Abubakar As- Siddiq RA meninggal dunia dan selanjutnya kekhalifahan dipegang oleh Umar bin Khattab RA. Khalifah yang kedua ini masih terus melakukan ekspansi wilayah Islam dan mengirim tentara ke Irak dalam pertempuran Al- Qodisiyah pada tahun 14 Hijrah dengan panglima perang Sa’ad bin Abiwaqos RA. Peperangan ini menghancurkan pasukan Restum dengan dahsyat.
            Setelah itu pergerakan Islam berlangsung terus sampai ke ibu kota Persia (Madain) dan dapat menguasainya pada tahun 16 Hijrah. Ketika itu Saad bin Abi Waqos RA berdama pasukannya shalat di Istana Kisra Anusirwan.[10] Kedian kaum muslim melanjutkan pembebasan kota wilayah di wilayah bumi Irak dan menghancurkan Persia dimana kemenangan yang menentukan bagi mereka terjadi dalam perempuran Nahawand, yang dinamai fathul Futuh, ditangan Hud Zaifah bin Al-Yaman RA, kemudian terus maju hingga dapat membebaskan kota Isfahan , Istakhar dan kota-kota Khurasan.
            Setelah itu tentara Islam dari Iran diarahkan kedaerah diseberang sungai, terus menuju bumi Persia dan sekitar Al Kirman hingga mendekati Negara Sind di India. Setelah penaklukan itu jadilah seluruh negara Persia masuk kedalam wilayah kekuasaan kaum Muslim. Di Negara Syam (Syiria), dalam pembebasan kota ini, kaum muslimin dengan panglima perang dipinpin oleh Abu Ubaidah bin Al-Jarrah RA juga terus dilanjutkan. Setelah selesai menaklukkan kota Yordan perjalanannya terus ke- Damaskus kemudian terus ke timur Suriah, sehingga di negara Syam takada yang  tertinggal selain Baitul Maqdis, maka kaum muslimin dengan pimpinan Amer  bin Al-Ash mengarah kesana. Penduduk daerah itu meminta berdamai dengan menghadirkan Amirul mukminin Umar bin Khattab RA untuk menerima kota tersebut. Umar bin Khattab RA datang serta menerima kota tersebut lalu memasukinya dan bertanggungjawab atas keamanan penduduk yang ada didalamnya, baik harta, jiwa mereka serta syiar agamanya.
            Mesir juga telah mengadakan perdamaian dengan Amer bin Al-Ash RA namun penduduknya berusaha untuk membatalkannya, kemudian di masa Usman RA, kembali meminta Amer sendiri datang kesana untuk menundukkan mereka kembali dibawah naungan panji-panji Islam.  Penaklukan wilayah masih terus dilakukan hingga masa Usman bin Affan RA hingga sampai kedaerah sebelah barat Afrika dan negara seberang sungai , hingga kaum mulim sampai kekota Kabul di Afganistan dan kota Gazanah di Turki, begitu terus meluas hingga ke Amuriyah Azerbaijan hingga ujung negara Armenia dan sebagian wilayah Turkestan sebelah selatan laut Qoswain.[11]
            Begitu juga dalam penaklukan kota An-Naubah dan Negara Sudan di selatan Mesir. Kaum Muslim menggunakan kapal laut sebagai trasportasi, dalam penguasaan kota kepulauan Qurbus dan sebagian besar wilayah kepulauan laut Tengah pada tahun 28 Hijrah ditangan Muawiyah bin Abu Sufyan  RA. Perluasan geokrafis pada masa ini disertai oleh perluasan pemikiran, dimana mayoritas penduduk negera yang ditaklukkan masuk Islam. Mereka melihat hanya dalam Islam sebaik-baik agama dari apa yang mereka miliki dan sebaik-baik pelindung untuk kondisi mereka saat itu.
            Gerakan pemikiran dakwah tidak berhenti sampai disini saja akan tetapi memancar didalamnya gerakan majlis-majlis ilmu dan pengajaran serta orang-orang muslim pada periode ini sangat bersungguh-sungguh menjaga persatuan dan kebudayaan dan kejiwaan yang merupakan pilar yang kuat bagi penaklukan tersebut. Diantara kesungguhan mereka dalam mengembangkan pemikiran Islam yang nampak jelas pada periode ini dengan ditandai oleh:
1.      Pemeliharaan Al Qur’an Al Karim dan pengumpulannya untuk yang pertama kali dimasa Abubakar RA, dan kemudian penyatuan mushaf pada masa kekhalifahan Usman bin Affan RA.[12]
2.      Kesungguhan dalam mensyiarkan agama Islam terutama diantara kaum muslimin dan memerangi kebodohan dalam Islam. Setelah itu orang-orang muslim dapat memperoleh pelajaran agama dari sahabat yang mulia yang telah tersebar di berbagai pelosok mulai dari Negara, perkotaan hingga kedaerah-daerah, syiar ini terus berkembang terutama dimasa kekhalifahannaya Usman bin Affan RA.
3.      Memelihara kitab Al Quran dengan sungguh-sungguh memelihara kitab dari tuhan mereka dan sunnah Nabinya. Masa da’wah ini merupakan masa yang sangat penting setelah masa Rasulullah SAW disaat pertalian masa antara kebudayaan merupakan masa kelanjutan.
                        Oleh karenanya banyak musuh Islam yang ingin menghancurkan kekuatan Islam (menyimpangkan sejarah penaklukan Islam) dan membuat berbagai macam peristiwa, menebarkan fitnah yang terjadi dimasa itu sebagai wahana untuk mencerca gerakan Islam, hingga pada akhirnya banyak orientalis di abad ke-19 menafsirkan penaklukan Islam ini secara materil semata-mata untuk itu, menyebutkan bahwa peperangan yang digencarkan kaum muslim adalah sebagai perang ekonomi yang dibelakang itu mencari kekuasaan untuk kehidupan dan kemewahan sarananya, serta masih banyak lagi sebutan-sebutan yang diikuti banyak orang yang cendrung kebarat (politik jahat westernis).


[1] Bagian ketiga dari buku, Al Manhaj Al Haraky Li As-Sirah An Nabawiyah, karya Muhammmad Munir Al    Ghadhaban h. 208
[2] Dapat dilihat dalam bukunya Ibnu Hazem, Jamalu futuhil Islam, risalah ke-empat h.354
[3] Dapat dilihat lebih lanjut dalam bukunya Ibnu Hazem, Jamalu futuhil Islam, risalah ke-empat h. 354
[4] Dapat dilihat lebih lanjut dalam bukunya Ibnu Hazem, Jamalu futuhil Islam, risalah ke-empat h. 355
[5] Syekh Ali Mahfudh, 1952. h. 17
[6] Apabila dilihat dari segi proses pencapaiannya, maka maka tujuan utama adalah merupakan ultimate goal dari tujuan ahir. Sedangkan tujuan departemental adalah merupakan intermediatre goal atau yang dikatakan tujuan perantara.

[7] Lihat dalam buku Ilmu Dakwah perinsip dan kode Etik, Berdakwah menurut Al-Quran dan As Sunnah, karya Sekh Muhammad Abu Al Fatah Al Bayanuni  h. 114
[8] Lihat dalam buku Ilmu Dakwah perinsip dan kode Etik, Berdakwah menurut Al Quran dan As Sunnah, karya Sekh Muhammad Abu Al Fatah Al Bayanuni  h. 115
[9] Ilmu Dakwah perinsip dan kode Etik, Berdakwah menurut Al Quran dan As Sunnah, karya Sekh Muhammad Abu Al Fatah Al Bayanuni  h. 116
[10] Ilmu Dakwah perinsip dank ode Etik, Berdakwah menurut Al Quran dan As Sunnah, karya Sekh Muhammad Abu Al Fatah Al Bayanuni h. 117
[11] Dapat dilihat dalam Al Bidayah Wa An nihayah, karya Ibnu Al Atsir, jilid 7 h. 169
[12] Dapat dilihat dalam hadis-hadis pengumpulan Al Quran pada zaman Abu Bakar dalam shahih Bukhari, hadis nomor 4987, Bab Jam’ul Quran, dan dalam Fathul Bariy jilid 9 h. 10-11, juga hadis-hadis penyatuan mushaf dimasa Usman bin Affan RA dalam shahih bukhari nomor 4987, Bab Jam’ul Quran, dan dalam Fathul Bariy jilid 9 h. 11.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar