Kamis, 19 Februari 2015

MUKMIN YANG KUAT LEBIHBAIK DAN LEBIH DICINTAI ALLAH DARIPADA MUKMIN YANG LEMAH

Segala puji kita haturkan kepada Allah Subhana wa Ta’ala Dzat Yang Maha Hikmah dan ilmuNya meliputi segala sesuatu. Sholawat serta salam semoga senantiasa terhatur kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, kepada, istri-istri, keluarga, sahabat dan umat beliau.
Al Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahihnya,


حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ وَابْنُ نُمَيْرٍ قَالاَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ عُثْمَانَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى بْنِ حَبَّانَ عَنِ الأَعْرَجِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ ».


Abu Bakr Bin Abu Syaibah dan Ibnu Numair telah mengabarkan kepada kami, keduanya mengatakan, ‘Abdullah bin Idris telah mengabarkan kepada kami dari Robi’ah bin Utsman dari Muhammad bin Yahya bin Habban dari Al A’roj dari Abu Huroiroh Rodhiyallahu ‘anhu, Dia mengatakan, ‘Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda’,
“Mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai Allah dari pada mukmin yang lemah, (namun) pada keduanya ada kebaikan. Besemangatlah (mengerjakan/terhadap) hal-hal yang bermafaat bagimu, meminta tolonglah kepada Allah dan jangan malas. Jika sesuatu (yang buruk) menimpa dirimu maka janganlah katakan ‘seandainya aku tadi melakukan ini dan itu’tetapi katakanlah Qodarullah (ini adalah takdir Allah) dan apa yang dikehendakinya pasti terlaksana. Karena jika engkau mengatakan ‘seandainya’ maka engkau akan membuka jalan bagi amalan syaithon”[1].
 Faidah-Faidah dari Hadits Di Atas :
Adanya penetapan bahwa Allah Subhana wa Ta’ala memiliki shifat mencintai yang sesuai dengan kebesaran Allah, shifat ini berhubungan dengan orang-orang yang dicintai dan juga setiap orang yang menegakkan kecintaan kepadaNya. Hal ini diambil dari potongan Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam (وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ)
Hadits ini menunjukkan bahwa iman itu mencakup aqidah yang tertanam di dalam hati, perkataan lisan dan perbuatan anggota badan. Hal ini disimpulkan dari potongan Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam (الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ), (احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ) dan (لَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ). Dan inilah defenisi iman menurut Ahlu Sunnah wal Jama’ah. (silakan lihat tulisan kami yang berjudul ‘iman adalah…….’ di : http://alhijroh.com/aqidah/iman-adalah/)
Iman bertambah dan berkurang. Hal ini dapat kita simpulkan dari potongan Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam (احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ).
Seorang mukmin itu bertingkat-tingkat derajatnya. Hal ini dapat kita simpulkan dari potongan Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam (الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ).
Perkara yang bermafaat itu ada dua jenis, [1]. Perkara Agama dan [2]. Perkara dunia. Seorang hamba membutuhkan perkara dunia demikan halnya ia juga membutuhkan perkara agama. Maka poros kebahagiaan itu adalah bersemangat untuk mendapatkan kedua hal tersebut namun harus dibarengi dengan adanya isti’anah (meminta pertolongan) kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Perkara yang bermanfaat berupa perkara agama/akhirat terbagi menjadi dua hal yaitu, [1]. ‘Ilmu Nafi’ (ilmu yang bermafaat) yaitu apa yang ada di dalam Al Qur’an dan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Ilmu inilah yang dapat memberikan kebahagian di dunia dan di akhirat.
[2]. ‘Amal Sholeh yaitu amal yang terkumpul padanya dua hal yaitu ikhlas
kepada Allah dan Mutaba’ah kepada Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
Adapun perkara yang bermafaat di dunia maka seorang hamba Allah haruslah mencari rizki dengan menempuh jalan/metoda yang layak dan paling bermanfaat bagi dirinya. Oleh karena itu hal ini berbeda-beda sesuai personnya. Kemudian hendaklah ia mencarinya diniatkan untuk memenuhi hak-hak bagi jiwa raganya pribadi dan/atau hak orang-orang yang menjadi tanggungannya (semisal anak, istri, orang tua yang telah papa) agar dapat terhindar dari meminta-minta dari manusia lainnya.
Ketika mencari rizki hendaklah dia tidak semata-mata bersandar pada kemampuannya, kecerdasannya maupun akalnya. Namun hendaklah dia menyandarkan urusannya kepada Allah dan berharap Allah mudahkan baginya serta memohon agar rizki yang dicarinya mendapat berkah dari Allah Subhana wa Ta’ala.
Adapun berkah pada rizki dapat saja terjadi dalam bentuk/tanda rizki tersebut [1] rizki tersebut menjadi faktor yang memperkuat ketaqwaan seorang hamba dan niat baiknya, [2] rizki tersebut diletakkan ditempat sebagaimana mestinya yaitu pada tempat yang wajib atau mustahab, [3] rezki yang dimilikinya dapat memudahkan urusan orang, semisal memberikan tempo bagi orang yang memiliki hutang padanya.
Kewajiban ridho terhadap takdir Allah setelah dia mencurahkan segenap kesungguhannya. Sehingga apabila sesuatu yang kurang menyenangkan hatinya menimpa dirinya maka dirinya akan merasa lapang dan tenang tentram sehingga bertambahlah imannya.
Adapun hukum penggunakan kata (لَوْ) ‘seandainya’ maka hukumya berbeda-beda tergantung niatnya. [1]. Jika diucapkan pada keadaan yang seseorang tersebut tidak mungkin lagi mendapatkannya maka pertakaan (لَوْ) ‘seandainya’ akan membuka pintu bagi amalan syaithon. [2]. Demikian juga halnya jika digunakan untuk menghayalkan/berharap keburukan dan maksiat. [3]. Adapun jika digunakan untuk mengharapkan/berharap kebaikan atau untuk menjelaskan ilmu yang bermanfaat maka terpuji.

Demikianlah yang bisa kami sampaikan mudah-mudahan bermanfaat
[Disadur dan diterjemahkan dari Kitab Bahjah Qulub Al Abror syaikh ‘Abdur Rohman bin Sa’di hal40-46 terbitan Dar Al Kutub]
Aditya Budiman bin Usman (Semoga Allah menjauhkan kami dari api neraka)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar