Memimpin Doa
Di Kala Sakaratul Maut
Lantunan ayat-ayat suci Al-Quran
terdengar syahdu menyentuh dan menggetarkan kalbu, terlebih lagi dibacakan pada
dini hari pukul 01.15 WIB di Bangsal Spesialis Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum
(RSU) Medan. Apakah ini
pertanda masih ada iman di hatiku? Karena
Allah Swt telah mengingatkan dalam firman-Nya;
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut
nama Allah gemetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka,
bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal” (QS. Al-Anfal [8]:2).
Usman adalah sahabatku berasal
dari kampung yang sama dan cukup jauh dari Medan. Pada malam itu sedang menjaga
Ayahnya di RSU Medan yang kamarnya bersebelahan dengan kamar Abangku yang
terbaring dirawat di RS yang sama, sedang penyembuhan pasca operasi usus
buntunya. Usman adalah putra ketiga H.
Abdurrahman sebagai Imam Besar di Masjid
Jami’ Nurul Hidayah Kabupaten tempat ia tinggal di kawasan Sumatera Utara,
sebab itu kami memanggilnya Pak Imam.
Usia Pak Imam mencapai 80
tahun merupakan umur yang cukup dan sudah melampaui usia Nabi Muhammad Saw
yaitu 63 tahun. Pada waktu mudanya Pak Imam berdagang hasil bumi yang ia kumpulkan dari pedagang-pedagang
kecil. Mengingat usianya yang kian lanjut, maka beliau
menghentikan usahanya dan lebih berkonsentrasi pada kegiatan sosial
kemasyarakatan terutama bidang keagamaan.
Beliau mempunyai lima orang
putra dan putri. Salah satu putranya yaitu yang bungsu bernama Azman, seorang
dokter yang sedang meneruskan program lanjutan spesialis penyakit dalam. Malam itu
sedang bertugas sebagai Ketua Bangsal tempat Ayahnya terbaring sakit.
Kesehariannya, Pak Imam
bukanlah seorang yang ahli berdakwah seperti ustaz-ustaz di televisi, bahkan
beliau banyak diam daripada bicara karena sering terbenam dalam zikir kepada
Allah Swt. Namun beliau mampu memberikan pencerahan atau penjelasan manakala
ada yang bertanya tentang hukum-hukum agama berdasarkan Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw. Talenta untuk menekuni bidang agama
tersebut, sebenarnya mengalir dari ayahnya atau kakek Usman yang juga sebagai seorang
ulama besar di daerahnya dan pernah bermukim di Makkah Al-Mukarramah.
Pak Imam adalah seorang yang
sangat bersahaja, sehingga sebutan Imam Besar dari Kabupaten untuk beliau tidak
diketahui oleh keluarganya, karena beliau merasa kecil di hadapan manusia,
terlebih lagi dikala bersimpuh di hadapan Allah Swt. Serban kebesaran hanya dipakai manakala memimpin salat
Idul Fithri dan Idul Adha saja.
Sakit yang diderita Pak Imam adalah
katub bilik jantung bocor. Ia dirawat di ruang khusus penyakit dalam. Segala kemudahan dalam perawatan diperoleh oleh Pak Imam berkat
posisi putranya sebagai Kepala Bangsal tempatnya dirawat.
Pak Imam berangkat dari kampung menuju Medan ba’da salat Jum’at dan pada hari Sabtu
siang diopname di RSU Medan. Putra-putrinya sudah meminta kesediaan Pak Imam
agar mau berobat ke Jakarta, tapi Pak Imam menolak. Ibunda Usman mengamini
putusan suaminya dan berpesan kepada anak-anaknya agar menuruti kemauan Ayahnya.
Begitu cepat penurunan fisik
Pak Imam sejak hari Senin dan Selasa malam
sudah semakin melemah. Padahal menurut perkiraan dokter internist yang
merawatnya masih 90 persen kondisi baik. Semua ini merupakan ketetapan Allah
Swt, manusia hanya sebatas berdoa, berencana dan berusaha merealisasikan keinginan
mereka.
Pukul 01.15 WIB, Rabu dini
hari di tengah dinginnya malam, terdengar suara lirih Pak Imam memanggil Usman.
“Usman, kumpulkan seluruh keluarga yang hadir. Pimpinlah pembacaan surat Yasin
bersama”, katanya. Secara perlahan dalam kondisi berbaring, Pak Imam
menggerakkan tubuhnya menghadap ke sebelah kanan di samping Usman yang duduk di
kursi yang tersedia untuk memimpin pembacaan surat Yasin yang diminta Ayahnya.
Pada saat pembacaan surat
Yasin berlangsung, saya sedang di depan kamar rawat Pak Imam. Surat Yasin dilantunkan
dengan tartil dan khusuk di ruangan rawat inap dan diikuti oleh sanak keluarga.
Ternyata Pak Imam turut serta bersama-sama melantunkan surat Yasin dengan
lancar namun mata terpejam dipandu oleh Usman. Ternyata Pak Imam yang sedang
sakit berat dapat melafalkan surat
tersebut dengan baik, mungkin selama hidupnya Pak Iman mendawamkan pembacaan surat Yasin dan surat-surat lainnya. Setiap
hari beliau mengulang-ulang hafalannya.
Sesekali Usman memandang ke
wajah Ayahnya yang agak pucat dengan infus di tangan kanannya. Butir-butir keringat keluar
di dahinya yang dingin. Tampak rasa sakit yang diderita, namun dihadapi dengan
sabar karena tidak terdengar rintih kesakitan sedikit pun, hanya gerakan mulut
dan suara yang rendah terdengar mengikuti alunan pembacaan ayat-ayat firman
Allah.
“Apakah Ayahanda sedang
berjuang dengan sakaratul maut?” Pertanyaan itu terbetik sekilas dalam benak
Usman. Tapi segera dialihkan kembali matanya ke surat Yasin yang berada di
tangannya agar tidak keliru membaca.
Pembacaanpun usai.
Perlahan-lahan Pak Imam mengubah posisi tidurnya dengan telentang, wajahnya
menghadap ke atas langit-langit kamar RS. Matanya terpejam. Tampak butiran
keringat makin banyak di dahinya dan setitik air mata juga ikut jatuh dari mata
yang terpejam itu. Adik perempuan Usman segera menyeka muka beliau dengan
handuk kecil.
Sebagai seorang muslim, memang
harus mendawamkan membaca Al-Quran walau hanya satu ayat setiap hari, termasuk mengartikan maknanya.
Jangan sampai Al-Quran hanya dibaca sewaktu ada yang sedang
sakaratul maut dan hanya surat Yasin saja, padahal Al-Quran mengandung 114 surat. Pak Imam telah membiasakan membaca Al-Quran sejak kecilnya dan pada akhir hayatnya merupakan review dari kehidupan keseharian beliau.
Sambil sedikit membuka matanya
dan memandang Usman, dengan suara rendah tapi berat beliau berkata; “Usman, tolong seluruh sanak
keluarga yang hadir di sini berkumpul mendekat, aminkan doa saya.” Segera Usman
meminta kepada semua sanak saudara untuk berkumpul mendekat, termasuk juga yang
masih berada di luar kamar RS. Kedua tangan Pak Kiai bergerak memberikan isyarat
bahwa ia akan mulai berdoa:
“A’u zubillahi minasysyaitonir-rojim, bismillahir-rochman nirrochim.
Alhamdulillaahi Rabbil ‘aalamin, hamdan syakirin hamdan na’imin. Hamdan
yuwaafii ni’amahu wayukaafi mazidahu, ya
Rabbana lakal hamdu kamaa yanbaghii li jalaali wajhika wa ‘azhiimi sulthaanik.
Allahumma shalli wa sallim ‘alaa sayyidina muhammadin wa ‘alaa aalihi wa
shahbihi ajma’iin”
Ia diam sebentar. Ia lanjutkan
doanya dengan suara bergetar; Ya Allah ….
yang Maha Pengampun, ampunilah segala dosa kami dan anak cucu serta keturunan
kami. Ampunilah pula dosa kedua ibu bapa kami.“Ya Allah Ya Rochmaan ….. Berikanlah kami rezeki yang berlimpah
semata-mata adalah untuk menjadi ahli sadaqoh dan beribadah kepada-Mu. Bimbinglah
kami dan anak cucu serta keturunan kami untuk ditetapkan dalam Iman dan Islam,
diberikan kekuatan dan keselamatan, dipanjangkan usia dalam taat senantiasa
berada dalam lindungan-Mu.”
Ia berhenti berhenti sebentar.
Tarikan napas yang berat dari dadanya, ia lalu melanjutkan: ”Ya
Allah…. Ya Rachiim, jadikanlah anak cucu serta keturunan kami kelak laksana
mutu manikam dalam lautan kehidupan sebagai anak yang sholeh dan sholeha, taat
dan tunduk dalam melaksanakan ajaran-ajaran agama-Mu. Jadikanlah anak cucu
serta keturunan kami menjadi anak-anak yang menyenangkan dan menyejukkan hati
kami.“
Tidak ada komentar:
Posting Komentar