Minggu, 20 Januari 2013

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PEMBERIAN AIR SUSU IBU EKSKLUSIF BAGI ANAK

TINJAUAN TERHADAP PERATURAN PEMERINTAH
TENTANG PEMBERIAN AIR SUSU IBU EKSKLUSIF, PERSPEKTIF REGULASI

A.    Pendahuluan
Secara kodrati, menyusui merupakan salah satu bagian dalam siklus hidup bagi perempuan. Di bidang kesehatan, pada tahapan di siklus tersebut (across the life cycle) dikenal adanya pendekatan “continuum of care” dalam upaya meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan ibu dan anak yang dimulai sejak masa pra hamil, kehamilan, persalinan dan nifas, bayi, balita, hingga remaja[1]. Menyusui juga berkenaan dengan fungsi atau tugas-tugas reproduksi, di samping hamil, melahirkan, dan mengasuh anak[2].
Dalam perkembangannya, pandangan terhadap nilai dan gerakan menyusui dengan ASI oleh ibu bagi bayinya mengalami pasang surut[3]. Sebagai agama dakwah[4], Islam telah mengajarkan lamanya waktu bagi ibu atau orang lain menyusui bayi, yakni selama dua tahun penuh[5] atau masa penyapihan bayi dalam umur dua tahun[6], dan juga mengisyaratkan masa mengandung sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan[7].
Praktek pemberian ASI Eksklusif dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya faktor sosial budaya, pengetahuan akan pentingnya ASI, dukungan jajaran kesehatan, instansi terkait dan keluarga, ASI-nya tidak keluar, alasan kesehatan, karena waktunya tersita untuk bekerja[8] serta pemakaian susu formula[9].
Tidak ada perdebatan teoritis konsepsional di kalangan akademis atau para ahli tentang manfaat ASI[10]. Manfaat ASI tidak diragukan sehingga pada kondisi normal, menyusui adalah yang terbaik bagi bayi. Beberapa perdebatan terkait ASI, diantaranya adalah tentang pendirian Bank ASI[11], pendonor dan penerima ASI dengan agama yang berbeda, pembayaran bagi yang menyusukan[12].
Menyusui dan ASI Eksklusif merupakan persoalan mendasar dan bernilai sangat startegis sehingga perlu diatur sampai dengan tingkat Peraturan Pemerintah (PP)[13]. Pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang ASI sampai menjadi Peraturan Pemerintah tentang Pemberian ASI Eksklusif setidaknya dibutuhkan waktu paling tidak sekitar lima tahun untuk menggolkan regulasi tersebut[14].
PP Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif telah diundangkan sekaligus mulai berlaku pada tanggal 1 Maret 2012. PP ini terdiri dari 10 bab, 43 pasal dengan total 55 ayat, dan mengatur 7 hal pokok, yaitu 1) tanggung jawab pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota; 2) Air Susu Ibu; 3) penggunaan susu formula dan produk bayi lainnya; 4) tempat kerja dan tempat sarana umum; 5) dukungan masyarakat; 6) pendanaan; dan 7) pembinaan dan pengawasan[15].

Dengan berbagai perdebatan dan kontekstual di atas, tulisan ini akan menggali tentang PP nomor 33 tahun 2012 dalam perspektif regulasi terutama keterkaitannya dengan aspek-aspek dakwah. Pertanyaan utama penelitian ini adalah bagaimana tinjauan tentang PP nomor 33 tahun 2012, perspektif regulasi? Adapun pertanyaan khususnya, yaitu: 1) Bagaimana kontrol dan pendelegasian pemerintah atau sebagai regulator kepada pihak independen dalam PP nomor 33 tahun 2012?, 2) Bagaimana regulasi secara internal (self-regulation) dan kerangka kerja hukum umum dalam PP nomor 33 tahun 2012?, 3) Bagaimana regulasi dengan mekanisme “kekuatan pasar” dan tekanan “audiens” (masyarakat umum) dalam PP nomor 33 tahun 2012? 
Pengkajian PP nomor 33 tahun 2012 memiliki saling keterkaitan diantara aspek-aspek dalam dakwah, komunikasi, media dan regulasi. Oleh karena begitu luas makna dan ruang lingkup masing-masing keilmuan dan aktivitas mengenai dakwah, komunikasi, media dan regulasi, maka penulisan ini dibatasi dengan perspektif regulasi dari Branston dan Stafford (2003: 478-480) sebaagai acuan utama.
            Berdasarkan pertanyaan di atas, dirumuskan hipotesis penelitian, yaitu regulasi pemerintah tentang ASI eksklusif memiliki kekuatan besar untuk meningkatkan ibu-ibu menyusui untuk memberikan ASI eksklusif. Peran pemerintah sebagai regulator, self-regulation sebagai user dan kerangka kerja hukum umum dapat menghadapi kekuatan regulasi mekanisme pasar dan tekanan masyarakat umum, meningkatkan ibu-ibu menyusui melakukan inisiasi menyusui dini, memberikan ASI eksklusif dan memberikan ASI sampai bayi berumur 2 tahun. Sebaliknya, pengaruh gencarnya promosi susu formula melalui media massa dan melalui institusi pelayanan kesehatan ataupun tenaga kesehatan tidak menghambat pemberian ASI eksklusif.   


[1]Kerber et al (2007), di dalam Dirjen Bina Gizi dan KIA Kementerian Kesehatan. Penyusunan Prioritas Program dan Kegiatan Bina Gizi dan KIA Tahun 2013. Bahan Presentasi. Jakarta: Ditjen Bina Gizi dan KIA Kementerian Kesehatan, 2012.   
[2]Achmad Charris Zubair, “Wanita dalam Transformasi Sosial Budaya: Telaah Peranan Strategis dalam Konteks Global” , http://filsafat.ugm.ac.id/downloads/artikel/wanita.pdf, 1 (diakses 9/4/2012)
[3]Dengan mengabaikan secara kualitas (menyusui sesuai anjuran), dapat dikatakan bahwa sebelum abad ke-20, hampir setiap bayi disusui oleh ibunya karena tidak ada pilihan lain. Namun, pada awal abad ke-20 (tahun 1900-an), terjadi perubahan nilai tentang  seiring dengan industrialisasi dan modernisasi. Adanya tuntutan hak-hak perempuan, seperti di bidang politik dan ekonomi melalui partisipasi pada pemilihan umum untuk memberikan suara pada pemilihan umum, bekerja, merokok, memanjangkan atau memendekkan rambut, dan ke luar rumah. Nilai menyusui mengalami pergeseran. Menyusui dianggap kuno, mengikat, bentuk perbudakan dan cara makan orang miskin yang tidak bisa membeli susu formula. Bagi perempuan kalangan menengah modern, roti dan menyusui melalui botol merupakan hal yang terbaik bagi bayi. Pada tahun 1960-an dan 1970-an, gerakan perempuan mengembalikan kepopuleran menyusui dengan munculnya pengetahuan tentang ASI sebagai makanan terbaik untuk bayi dan bermanfaat juga bagi ibunya. Lihat Heidi Murkoff et al. Kehamilan: apa yang anda hadapi bulan per bulan, 407.
[4]Menurut Thomas W. Arnold di dalam Ismail dan Hotman, “agama dakwah adalah agama yang memiliki kepentingan suci untuk menyebarkan kebenaran dan menyadarkan orang kafir sebagaimana dicontohkan sendiri oleh penggagas agama itu dan diteruskan oleh para penggantinya”. Lihat Ilyas Ismail dan Prio Hotman. Filsafat Dakwah: Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban Islam. Jakarta: Kencana, 2011, 11.   
[5]Q.S. Al Baqarah [2]: 233: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. ...”
[6]Q.S. Lukman [31]: 14: “... Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah semakin bertambah lemah juga, sampai masa penyapihan bayinya dalam umur dua tahun. ...”
[7]Lihat Q.S. Al-Ahqaaf [46]: 15: “... ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah. Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, ...”
[8]Beberapa alasan ibu bekerja tidak melaksanakan ASI Eksklusif, diantaranya adalah tidak ada atau tidak diberi kesempatan menyusui, repot bayinya tidak bisa dibawa ke tempat kerja, harus pulang balik ke rumah untuk menyusui bayi, tidak ada ruang peneitipan anak, tidak tersedia ruangan menyusui atau tidak tersedia fasilitas memerah dan menyimpan ASI di tempat kerja serta gencarnya iklan susu formula di media yang dapat menyebabkan ibu memiliki alternatif lain sebagai pengganti ASI selama bekerja, seperti makanan tambahan lain atau susu formula. Pada ibu bekerja, dalam periode pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan terdapat waktu sekitar 3 bulan ibu harus sudah bekerja, jika ibu mengambil cuti mulai menjelang melahirkan. Jika cuti diambil 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan setelah melahirkan, maka sekitar selama 4,5 bulan periode memberikan ASI eksklusif ibu juga bekerja. Lihat Pasal 82 UU No. 13 tentang Ketenagakerjaan.   
[9]Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, Pemberdayaan Perempuan dalam Peningkatan Pemberian ASI. Jakarta: Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, 2008, 6 (Diperbanyak oleh Kementerian Kesehatan RI tahun 2010).
[10]Manfaat ASI, diantaranya adalah sesuai dengan kebutuhan bayi manusia, lebih mudah dicerna, aman, menenangkan perut, tidak menggemukan, mendukung pertumbuhan dan meningkatkan perkembangan otak, mencegah alergi, mencegah infeksi, membangun mulut lebih kuat, mudah, ekonomis, mempercepat pemulihan dan kembali ke bentuk pra hamil, menunda menstruasi, membangun tulang, mengurangi resiko kanker, mendekatkan ibu dengan bayi, kepuasan emosional, keintiman, saling berbagi cinta, dan membentuk hubungan ibu anak yang kuat. Lihat Heidi Murkoff et al. Kehamilan: apa yang anda hadapi bulan per bulan. Alih bahasa Susi Purwoko. Edisi 3 (Revisi 2006). Jakarta: Arcan, 2006, 407-410. Baca juga Kemneg Pemberdayaan Perempuan, Pemberdayaan Perempuan dalam Peningkatan Pemberian ASI, (Jakarta, 2008), 15-18.
[11]Perbedaan pendapat ulama (ikhtilaf) tentang Bank ASI atau ASI meliputi prinsip rada’ah (susuan), yakni pengertian ar-radha', batasan umur bayi, jumlah susuan, cara menyusu, adanya saksi yang berkaitan dengan kemahraman, dan hukum jual beli ASI. Dalam pertimbangan aspek kesehatan, ibu pendonor ASI harus memenuhi syarat memiliki kelebihan ASI dan kesehatan yang baik, antara lain non-perokok, tidak minum obat dan alkohol, tes darah negatif untuk Hepatitis B dan C, HIV 1 dan 2, serta HTLV 1 dan 2, memiliki kekebalan terhadap rubella dan sifilis negatif, tidak memiliki riwayat penyakit TBC aktif, herpes atau kondisi kesehatan kronis lain, seperti multiple sclerosis atau riwayat kanker. Daya tahan ASI, yaitu pada suhu 19 – 25 derajat celcius ASI dapat tahan 4-8 jam, suhu 0-4 derajat celsius ASI tahan 1-2 hari, serta suhu dalam freezer khusus bisa tahan 3-4 bulan. Paling tidak ada 3 (tiga) pandangan ulama tentang masalah penyusuan, yaitu membolehkan, mengharamkan dan membolehkan dengan syarat yang sangat ketat. Lihat SMK Darunnajah, “Hukum Bank ASI dan Bank Sperma”, Published on 18 September 2011, http://www.smk darunnajah.sch.id/2011/09/hukum-bank-asi-dan-bank-sperma.html.  
[12]Q.S. Al Baqarah [2]: 233: “... Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. ...”, sedangkan dalam Peraturan Pemerintah RI No. 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif pasal 11 (2e) disebutkan ASI tidak diperjualbelikan.    
[13]Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam Pasal 7 Ayat (1) disebutkan mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; serta Peraturan Daerah.
[14]Sandra Fikawati dan Ahmad Syafiq. Kajian Implementasi dan Kebijakan ASI dan Inisiasi Menyusu Dini di Indonesia. Makara, Kesehatan, Vol. 14, No. 1, Juni 2012, 3.
[15]Lihat bagian penjelasan halaman 2.

B.    Analisis
PP nomor 33 tahun 2012 merupakan produk hukum dengan kekuatan hukum yang jelas, tegas dan tertulis. Dalam ketentuan peralihan disebutkan bahwa pada saat PP ini mulai berlaku, pengurus tempat kerja dan/atau penyelenggara tempat sarana umum, wajib menyesuaikan dengan ketentuan PP ini paling lama 1 (satu) tahun. PP nomor 33 tahun 2012 genap berlaku 1 tahun pada tanggal 1 Maret 2013. Dalam PP tersebut terdapat toleransi waktu. Hal ini sesuai dengan prinsip dalam agama yang tidak ingin memberatkan. Kekuatan besar juga terdapat pada amanat PP sesuai dengan perintah dalam Al-Qur’an (Q.S. [2]: 233), (Q.S. Lukman [31]: 14), (Q.S. Al-Ahqaaf [46]: 15). Meskipun tidak secara eksplisit disebutkan tentang ASI eksklusif dalam Al-Qur’an, namun perintah kepada ibu untuk menyusukan bayinya sampai 2 tahun untuk menyempurnakan susuannya merupakan landasan moril, kekuatan spiritual dan nyata untuk dapat meningkatkan peran dakwah dalam Islam dalam membantu peningkatan pemberian ASI eksklusif.
Kekuatan regulasi PP 39 tahun 2012, selain dilihat berdasarkan dukungan peraturan perundangan dalam bentuk PP, amanat UU, perintah agama, peran dari Kementerian Kesehatan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan Kementerian Tanaga Kerja dan Transmigrasi juga beberapa subsantasi membutuhkan para ahli agama, khususnya ahli fiqih dalam pembahasan pada bagian ketiga mengenai Pendonor ASI. Substansi dakwah di sini adalah segala aspek yang berfungsi dalam kegiatan tersebut, meliputi: 1) isi atau pesan-pesan yang disampaikan; 2) metode penyampaian; 3) narasumber atau da’i yang berperan; dan 4) media yang digunakan.
Pada pasal 6 disebutkan, setiap ibu yang melahirkan harus memberikan ASI eksklusif kepada bayi yang dilahirkan. Dalam pasal 9 dinyatakan tenaga kesehatan dan penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan wajib melakukan inisiasi menyusu dini terhadap bayi yang baru lahir kepada ibunya paling singkat selama 1 (satu) jam. Ketentuan lain yang mendukung kekuatan dalam PP adalah adanya saknsi administratif (teguran lisan, teguran tertulis, pencabutan izin) untuk tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan. Untuk penggunaan susu formula juga ada pelarangan untuk memberikan kepada bayi serta pembatasan penggunaan dan promosi susu formula. 
Dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pada Pasal 7 Ayat (1) disebutkan mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; serta Peraturan Daerah. PP merupakan peraturan perundang-undangan di bawah UU. PP adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan UU sebagaimana mestinya. Keberadaan Pemerintah hanya untuk menjalankan UU. PP berlaku secara nasional di seluruh wilayah Indonesia.                  
            Program ASI di tempat kerja sangat penting dan memiliki nilai strategis mengingat jumlah pekerja perempuan di Indonesia cukup besar, mencapai 39.946.327 atau 38% dari total jumlah pekerja. Keberhasilan program ASI di tempat kerja akan sangat berdampak pada keberhasilan program ASI secara nasional. Untuk menggalakkan program ASI di tempat kerja, beberapa lembaga dan sarana prasarana penunjang, seperti klinik laktasi, pojok laktasi, Hotline ASI, Sentra Laktasi Indonesia (SELASI), Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI), konselor menyusui (breastfeeding counselor) dan konsultan laktasi. Dalam upaya mendukung kebijakan program ASI eksklusif saat ini mulai banyak organisasi di masyarakat sebagai bentuk kepedulian dalam mendukung terwujudnya ibu menyusui secara eksklusif.
            ASI eksklusif adalah pemberian hanya Air Susu Ibu (ASI) saja kepada bayi sejak lahir sampai berumur enam bulan, tanpa tambahan cairan lain, seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, air putih dan tanpa tambahan makanan padat seperti pisang, pepaya, bubur susu, biskuit, bubur nasi dan tim. Meskipun dalam Islam tidak secara tegas menjelaskan tentang ASI eksklusif, pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama didasari oleh bukti ilmiah tentang manfaat ASI bagi daya tahan hidup bayi, pertumbuhan dan perkembangannya[1]. Setidaknya dalam Al-Qur’an, terdapat 3 ayat menyebutkan lamanya waktu menyusui atau menyapih bayi[2].
WHO/UNICEF dalam Global Strategy for Infant and Young Child Feeding merekomendasikan empat hal penting dalam pemberian makanan bayi dan anak, yaitu 1) Memberikan ASI kepada bayi segera dalam waktu 30 menit setelah bayi lahir; 2) Memberikan hanya ASI saja atau pemberian ASI secara eksklusif sejak lahir sampai bayi berusia 6 bulan; 3) Memberikan makanan pendamping ASI (MP-ASI) sejak bayi berusia 6 bulan sampai 24 bulan, dan 4) Meneruskan pemberian ASI sampai anak berusia 24 bulan atau lebih[3]. Dengan demikian, rekomendasi WHO/UNICEF ini sejalan dengan apa yang telah diperintahkan dalam Al-Qur’an.
Walaupun sudah banyak diketahui mengenai manfaat memberikan ASI, adanya perintah agama dan rekomendasi WHO/UNICEF serta dukungan berbagai regulasi terkait, tetapi tingkat kesadaran masyarakat untuk memberikan ASI kepada bayinya masih rendah. Pemberian ASI secara eksklusif relatif memprihatinkan. Pemberian ASI dan makanan tambahan yang salah berakibat pada tingginya jumlah balita penderita  kurang gizi dan gizi buruk. Sekitar 6,7 juta balita atau 27,3% dari seluruh balita di Indonesia menderita kurang gizi dan sebanyak 1,5 juta diantaranya menderita gizi buruk. Pemberian ASI eksklusif oleh ibu untuk bayinya pada dasarnya merupakan suatu hak bagi bayi[4].
Dalam Peraturan Bersama Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Menteri Kesehatan tentang Peningkatan Pemberian ASI Selama Waktu Kerja di Tempat Kerja, pada Bab III mengenai Tugas dan Tanggung Jawab disebutkan bahwa Menteri Kesehatan salah satunya bertugas dan bertanggung jawab menyediakan, menyebarluaskan bahan-bahan komunikasi, informasi dan edukasi tentang peningkatan pemberian ASI. Aspek komunikasi secara eksplisit disebutkan dalam tugas dan tanggung jawab tersebut. Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif pada pasal 11 dinyatakan bahwa pemberian ASI eksklusif oleh pendonor ASI karena ibu kandung tidak dapat memberikan ASI Eksklusif bagi bayinya, maka diperlukan persyaratan diantaranya identitas, agama, dan alamat pendonor ASI diketahui dengan jelas oleh ibu atau keluarga dari bayi penerima ASI, serta ketentuan bahwa pemberian ASI oleh pendonor ASI wajib dilaksanakan berdasarkan norma agama dan mempertimbangkan aspek sosial budaya, mutu, dan keamanan ASI. Tugas dan tanggung jawab untuk menyediakan, menyebarluaskan bahan-bahan komunikasi, informasi dan edukasi tentang peningkatan pemberian ASI serta sosialisasi regulasi/kebijakan/peraturan mengharuskan adanya keterlibatan, faktor pendukung, dan peran penting berupa media[5].
Pada kedua regulasi tersebut terlihat adanya peran aspek komunikasi, media dan agama. ASI eksklusif merupakan sesuatu yang universal dan dapat dikaji dalam berbagai sudut pandang bidang keilmuan, seperti kesehatan, agama dan kebijakan. Praktek menyusui atau pemberian ASI merupakan bentuk perilaku kesehatan masyarakat. Perilaku dalam Islam biasa disebut sebagai akhlak[6] yang mencakup akhlak baik (terpuji) dan akhlak buruk (tercela).
Adanya kekuatan regulasi dalam PP nomor 33 tahun 2012 sejalan dengan berbagai definisi diantaranya menurut Branston dan Stafford, Kalesaran, Isang Gonarsyah, dan Stigler. Pada intinya regulasi ditujukan untuk melindungi kepentingan dan memberikan manfaat bersama-sama yang lebih luas.
            Pemberian ASI eksklusif tidak hanya menjadi isu nasional, tetapi merupakan komitmen global. Berdasarkan identifikasi terhadap peraturan perundangan yang ada terkait ASI eksklusif, terlihat adanya kontrol pemerintah untuk mendukung ASI eksklusif. Selain dalam bentuk peraturan perundangan, juga terdapat kebijakan dan program berbagai peraturan perundangan bagai kebijakan dan peraturan perundangan Pemberian ASI, khususnya di kementerian terkait, yaitu Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Berbagai bentuk intervensi kontrol pemerintah dalam bentuk peraturan perundangan berupa Undang-undang yang mendukung pemberian ASI adalah khususnya UU No. 49 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan merupakan landasan hukum bagi lahirnya Peraturan Pemerintah No. 33/2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif dan perlu dikaji kesesuaiannya. Lahirnya PP tersebut dalam prosesnya mengalami kendala dan hambatan khususnya dari dunia usaha/industri sehingga dimungkinkan dalam implementasinya juga terdapat permasalahan[7].
Dalam PP ini juga terdapat substansi yang memerlukan kajian dan tindak lanjut, diantaranya adalah evaluasi pelaksanaan dan pencapaian program pemberian ASI Eksklusif di tempat kerja, penelitian dan pengembangan program ASI Eksklusif yang mendukung perumusan kebijakan kabupaten/kota, pertimbangan norma agama, aspek sosial budaya, mutu, dan keamanan ASI terkait pemberian ASI Eksklusif dari pendonor ASI; tata cara pengenaan sanksi administrasi bagi tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan, tata cara penggunaan susu formula bayi dan produk bayi lainnya, dan tata cara penyediaan fasilitas khusus menyusui dan/atau memerah ASI. Selain itu, implementasi kebijakan harus dilihat sinergisitasnya dan tidak berbenturan dengan kebijakan atau peraturan lainnya di tingkat perusahaan. Misalnya adalah ketentuan tentang jam kerja. 
Aspek kontrol dan pengendalian pemberian ASI Eksklusif tampak juga pada aktivitas yang secara langsung disebut, diantaranya adalah pengaturan pemberian ASI, advokasi dan sosialisasi, pembinaan, pengawasan, evaluasi, kerjasama, akses terhadap informasi dan edukasi, kerja sama, dan ketentuan tentang sanksi, dukungan masyarakat, ketentan pendanaan dan pembiaan dan penawasa, peran SDM di bidang kesehatan, peran dan dukungan keluarga dan masyarakat, pengawasan terhadap produsen atau distributor susu formula bayi dan/atau produk bayi lainnya. Kontrol dan pengendalian merupakan bentuk sikap tanggung jawab. Dalam PP 39 terdapat pembagian tanggungjawab kepada pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam program pemberian ASI Eksklusif (pasal 3, pasal 4, dan pasal 5 PP nomor 33 tahun 2012). Adanya sanksi-sanksi juga merupakan bentuk upaya untuk mengontrol dan mengendalikan atau membatasi meluasnya susu formula. 
            Kontrol dan pengendalian merupakan aspek dalam dakwah Islam. Agama Islam sangat menghendaki adanya kontrol dan pengendalian diri. Kontrol dan pengendalian diri terhadap keinginan-keinginan duniawi yang berlebihan, pengendalian terhadap berbagai hawa nafsu yang menyesatkan sehingga memberikan keselamatan, kebahagiaan dan kedamaian dalam hidup.
            Regulasi diri dalam program ASI Eksklusif diharapkan para pihak terkait dapat mendorong sepenuhnya untuk keberhasilan program ASI Eksklusif. Dalam PP nomor 33 tahun 2012 regulasi diri secara internal dapat ditujukan kepada berbagai sasaran, seperti ibu-ibu yang diharuskan menyusui bayinya, tenaga kesehatan untuk konsisten mendukung keberhasilan program ASI Eksklusif. Regulasi menunjukkan adanya upaya untuk mengendalikan perilaku manusia atau masyarakat dengan aturan atau pembatasan. Regulasi dapat dilakukan dengan berbagai bentuk, misalnya pembatasan hukum diumumkan oleh otoritas pemerintah, regulasi pengaturan diri oleh suatu industri seperti melalui asosiasi perdagangan[8]. Regulasi diri jelas merupakan salah satu perwujudan dari nilai atau pesan dalam dakwah.
            Dalam kaitannya dengan progarm ASI Ekslusif dapat diartikan sebagai pengendalian olah kelompoknya. Pada indsutri media, jenis regulasi diri misalnya adalah adanya kode etik dari para jurnalis itu sendiri secara independen atau oleh asosiasi industri media, dewan pers, organisasi wartawan, organisasi media dan lain sebagainya. Pada program ASI eksklusif, regulasi diri misalnya adanya organisasi Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI). AIMI yang bergerak dalam sosialisasi, advokasi, konseling, pelatihan, pendampingan dalam hal ASI eksklusif. AIMI memiliki lalam web, jejaring sosial twitter, facebook. Selain itu, juga dapat dilakukan oleh komunitas para pekerja. Sebagai gambaran tentang AIMI, berikut disampaikan beberapa dokumen AIMI:
Aspek mekanisme pasar dan tuntutan masyarakat, deregulasi, dan liberalisasi. Mekanisme pasar dan kebebasan tuntutan masyarakat dalam kaitannya dengan program ASI Eksklusif adalah menyangkut pemberian susu formula bagi bayi di atas 6 bulan. Melalui mekanisme pasar diharapkan terjadinya keseimbangan, persaingan bebas dan adanya keadilan. Prinsip keadilan merupakan bagian dalam ajaran Islam.
Dalam PP 39 nomor 33 tahun 2012 isi materi yang dapat diidentifaksi berdasarkan klasifikasi jenis media berdasarkan kekuatan pada mekanisme pasar, yaitu produk susu formula. Gencarnya promosi susu formula di banyak media, khususnya media elektronik televisi menjadi penyebab rendahnya cakupan angka pemberian susu formula. Oleh karena itu, mekanisme pasar tentang susu formula perlu diperbanyak lagi aturan-aturan pengetatan, termasuk perlunya tuntutan masyarakat melalui pemahaman dan peningkatan kesadaran arti pentingnya pemberian ASI eksklusif melaui sosialisasi secara lebih luas ke seluruh lapisan masyarakat.
Islam merupakan agama persamaan dan keadilan. Allah SWT bersifat adil dan cinta keadilan dan mengasihi orang yang bersifat adil. Banyak ayat al-Quran yang menyeru kepada keadilan dan mencegah daripada bersifat zalim[9]. Allah SWT berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu semua menjadi orang-orang yang menegakkan keadilan kerana Allah, lagi menerangkan kebenaran, dan janganlah sekali-kali kebencian kamu terhadap sesuatu kaum itu mendorong kamu kepada tidak melakukan keadilan. Hendaklah kamu berlaku adil (kepada sesiapa jua) kerana sifat adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat mengetahui dengan mendalam akan apa yang kamu lakukan” (Q.S. Al-Maaidah [5]: 8)
            Dalam sejarah perkembangannya perdebatan regulasi media telah menyentuh berbagai aspek kehidupan, seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pendidikan, agama dan pertahanan keamanan. Begitu penting dan strategisnya peran media sehingga diperlukan kontrol terhadap media melalui regulasi apapun bentuk dan siapapun yang melakukannya. Dinamika ilmu pengetahuan dan teknologi serta kehidupan masyarakat terkadang membutuhkan juga suatu kebijakan deregulasi. Pada titik keseimbangan tertentu regulasi terhadap media diharapkan akan dapat lebih melindungi masyarakat umum, institusi/industri media publik dan komersial, keluarga dan individu atau dengan kata lain membawa kemaslahatan bagi umat secara keseluruhan.
Pembahasan tentang ASI sangat penting mengingat manfaat dan pengaruh yang begitu besar terhadap banyak aspek kehidupan. Tinjauan terhadap pemberian ASI secara eksklusif dalam perspektif regulasi menurut klasifikasi oleh Branston dan Stafford akan memperlihatkan sejauhmana kekuatan dan eksistensi regulasi baik secara filosofis, historis (konstruksi dan rekonstruksi), politis, maupun empiris. Regulasi pada dasarnya bersifat dinamis yang dalam perjalanannya memerlukan revisi dan penyempurnaan, bahkan deregulasi mengikuti dinamika dalam masyarakat serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Efektivitas pada akhirnya menjadi dasar untuk menilai seberapa lama suatu regulasi ideal untuk dipertahankan. Dalam konteks PP nomor 33 tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif jelas terlihat sebagai bentuk aplikasi tentang regulasi sebagaimana yang ditulis oleh Branston dan Stafford dan berdasarkan berbagai definsi tentang regulasi.


[1]Semua energi dan gizi (nutrisi) yang dibutuhkan bayi selama enam bulan pertama kehidupannya cukup dengan AS. Pemberian ASI eksklusif mengurangi tingkat kematian bayi akibat berbagai penyakit umum yang menimpa anak-anak, seperti diare dan radang paru, serta mempercepat pemulihan bila sakit. Lihat Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, Pemberdayaan Perempuan dalam Peningkatan Pemberian ASI. Jakarta: Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, 2008, 20.  
            [2]Lihat Q.S. Al Baqarah [2]: 233, Q.S. Lukman [31]: 14, dan Q.S. Al-Ahqaaf [46]: 15. Sedangkan dalam ayat-ayat lain, seperti Q.S Annisaa [4]: 23, Q.S. Al Hajj [22]: 2, Q.S. Al Qashash [28]: 7, 12; Q.S An Nahl [16]: 66, Q.S. Al Mukminuun [23]: 21, dan Q.S. Muhammad [47]: 15, disebutkan tentang sepersusuan/menyusui/susu dalam konteks lain.
[3]Kemneg Pemberdayaan Perempuan, Pemberdayaan Perempuan dalam Peningkatan Pemberian ASI, (Jakarta, 2008), 14.
[4]Dirjen Bina Gizi dan KIA Kemenkes, “Bahan Sosialisasi ‘Percontohan’ ASI Eksklusif di Tempat Kerja Dukungan Dana Tugas Pembantuan 2012” , Surabaya, 29 – 31 Maret 2012. Berdasarkan data tahun 2007, secara nasional rata-rata balita disusui adalah selama 16,5 bulan. Menurun dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yakni sebesar 16,9 bulan. Data tahun 2010 menunjukkan bahwa persentase bayi yang menyusui eksklusif sampai dengan 6 bulan adalah 15,3%. Inisiasi dini menyusui kurang dari satu jam setelah bayi lahir adalah 29,3%, tertinggi di Nusa Tenggara Timur 56,2% dan terendah di Maluku 13,0%. Sebagian besar proses mulai menyusui dilakukan pada kisaran waktu 1-6 jam setelah bayi lahir tetapi masih ada 11,1% proses mulai disusui dilakukan setelah 48 jam. Persentase bayi yang menyusui eksklusif sampai dengan 6 bulan adalah 15,3%. Inisiasi dini menyusui kurang dari satu jam setelah bayi lahir adalah 29,3%, tertinggi di Nusa Tenggara Timur 56,2% dan terendah di Maluku 13,0%. Sebagian besar proses mulai menyusui dilakukan pada kisaran waktu 1-6 jam setelah bayi lahir tetapi masih ada 11,1% proses mulai disusui dilakukan setelah 48 jam. Baca juga Balitbang Kemenkes, Riset Kesehatan Dasar 2010, (Jakarta, 2010) , 4.
[5]Media di sini, sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai alat (sarana) komunikasi, seperti koran, majalah, radio, televisi, film, poster, dan spanduk. Istilah umum yang sering digunakan dengan kata media, diantaranya media cetak, media elektronik, media film, media massa, media pendidikan, dan media periklanan.   
[6]Secara bahasa (lughatan), akhlaq merupakan bentuk jamak dari Al khuluq, yang berarti ad din (agama), tabiat, perangai, kelakuan, tingkah laku, matuah, adat kebiasaan, dan sebagai agama itu sendiri. Menurut Ibnul Arabi Al Khuluq artinya muru’ah (kepribadian). Menurut istilah, akhlak adalah sifat yang tertanam di dalam diri yang dapat mengeluarkan sesuatu perbuatan dengan senang dan mudah tanpa pemikiran, penelitian dan paksaan. Al-Ghazali menyatakan akhlak ialah suatu keadaan yang tertanam di dalam jiwa yang menampilkan perbuatan-perbuatan dengan senang tanpa memerlukan pemikiran dan penelitian. Apabila perbuatan yang muncul itu baik dan terpuji menurut syara dan akal, maka perbuatan itu disebut akhlak yang mulia. Sebaliknya jika muncul perbuatan yang buruk, dinamakan sebagai akhlak yang buruk. Baca Farid Nu’man, “Akhlak”, http://kipsi.wordpress.com/2009. Menurut Farid Nu’man, pembicaraan tentang akhlak bermuara pada kondisi jiwa manusia yang ditampakkan oleh perbuatan mereka, yang didasarkan oleh pemahaman agama, Al Quran, dan ketaqwaan  
[7]Peraturan Pemerintah No. 33/2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif sudah mulai pembahasannya sejak November 2006 (saat itu bernama RPP Pemasaran Susu Formula) dan baru bulan Maret 2012 disahkan.  
[9]http://www.utusan.com.my/utusan/info.asp?y=2012&dt=0209&pub=Utusan_Malaysia&sec=Bicara_Agama&pg=ba_03.htm (diakses: 3/1/2013)
 

1 komentar: