TINJAUAN TERHADAP PERATURAN PEMERINTAH
TENTANG PEMBERIAN AIR SUSU IBU EKSKLUSIF, PERSPEKTIF REGULASI
A. Pendahuluan
Secara
kodrati, menyusui merupakan salah satu bagian dalam siklus hidup bagi perempuan.
Di bidang kesehatan, pada tahapan di siklus tersebut (across the life cycle) dikenal adanya pendekatan “continuum of care” dalam upaya
meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan ibu dan anak yang dimulai
sejak masa pra hamil, kehamilan, persalinan dan nifas, bayi, balita, hingga
remaja[1].
Menyusui juga berkenaan dengan fungsi atau tugas-tugas reproduksi, di samping hamil,
melahirkan, dan mengasuh anak[2].
Dalam
perkembangannya, pandangan terhadap nilai dan gerakan menyusui dengan ASI oleh
ibu bagi bayinya mengalami pasang surut[3].
Sebagai agama dakwah[4],
Islam telah mengajarkan lamanya waktu bagi ibu atau orang lain menyusui bayi,
yakni selama dua tahun penuh[5] atau
masa penyapihan bayi dalam umur dua tahun[6],
dan juga mengisyaratkan masa mengandung sampai menyapihnya adalah tiga puluh
bulan[7].
Praktek
pemberian ASI Eksklusif dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya faktor
sosial budaya, pengetahuan akan pentingnya ASI, dukungan jajaran kesehatan,
instansi terkait dan keluarga, ASI-nya tidak keluar,
alasan kesehatan, karena waktunya tersita untuk bekerja[8] serta
pemakaian susu formula[9].
Tidak
ada perdebatan teoritis konsepsional di kalangan akademis atau para ahli
tentang manfaat ASI[10].
Manfaat ASI tidak diragukan sehingga pada kondisi normal, menyusui adalah yang
terbaik bagi bayi. Beberapa perdebatan terkait ASI, diantaranya adalah tentang pendirian
Bank ASI[11],
pendonor dan penerima ASI dengan agama yang berbeda, pembayaran bagi yang
menyusukan[12].
Menyusui dan ASI Eksklusif merupakan persoalan mendasar
dan bernilai sangat startegis sehingga perlu diatur sampai dengan tingkat Peraturan
Pemerintah (PP)[13]. Pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang
ASI sampai menjadi Peraturan Pemerintah tentang Pemberian ASI Eksklusif setidaknya
dibutuhkan waktu paling tidak sekitar lima tahun untuk menggolkan regulasi
tersebut[14].
PP Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif
telah diundangkan sekaligus mulai berlaku pada tanggal 1 Maret 2012. PP ini
terdiri dari 10 bab, 43 pasal dengan total 55 ayat, dan mengatur 7 hal pokok,
yaitu 1) tanggung jawab pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah
daerah kabupaten/kota; 2) Air Susu Ibu; 3) penggunaan susu formula dan produk
bayi lainnya; 4) tempat kerja dan tempat sarana umum; 5) dukungan masyarakat;
6) pendanaan; dan 7) pembinaan dan pengawasan[15].
Dengan
berbagai perdebatan dan kontekstual di atas, tulisan ini akan menggali tentang PP
nomor 33 tahun 2012 dalam perspektif regulasi terutama keterkaitannya dengan
aspek-aspek dakwah. Pertanyaan utama penelitian ini adalah bagaimana tinjauan
tentang PP nomor 33 tahun 2012, perspektif regulasi? Adapun pertanyaan
khususnya, yaitu: 1) Bagaimana kontrol dan pendelegasian pemerintah atau
sebagai regulator kepada pihak
independen dalam PP nomor 33 tahun 2012?, 2) Bagaimana regulasi secara internal
(self-regulation) dan kerangka kerja
hukum umum dalam PP nomor 33 tahun 2012?, 3) Bagaimana regulasi dengan
mekanisme “kekuatan pasar” dan tekanan “audiens” (masyarakat umum) dalam PP
nomor 33 tahun 2012?
Pengkajian
PP nomor 33 tahun 2012 memiliki saling keterkaitan diantara aspek-aspek dalam
dakwah, komunikasi, media dan regulasi. Oleh karena begitu luas makna dan ruang
lingkup masing-masing keilmuan dan aktivitas mengenai dakwah, komunikasi, media
dan regulasi, maka penulisan ini dibatasi dengan perspektif regulasi dari Branston
dan Stafford (2003: 478-480) sebaagai acuan utama.
Berdasarkan
pertanyaan di atas, dirumuskan hipotesis penelitian, yaitu regulasi pemerintah
tentang ASI eksklusif memiliki kekuatan besar untuk meningkatkan ibu-ibu
menyusui untuk memberikan ASI eksklusif. Peran pemerintah sebagai regulator, self-regulation sebagai user
dan kerangka kerja hukum umum dapat menghadapi kekuatan regulasi mekanisme
pasar dan tekanan masyarakat umum, meningkatkan ibu-ibu menyusui melakukan
inisiasi menyusui dini, memberikan ASI eksklusif dan memberikan ASI sampai bayi
berumur 2 tahun. Sebaliknya, pengaruh gencarnya promosi susu formula melalui
media massa dan melalui institusi pelayanan kesehatan ataupun tenaga kesehatan tidak
menghambat pemberian ASI eksklusif.
[1]Kerber et al (2007), di
dalam Dirjen Bina Gizi dan KIA Kementerian Kesehatan. Penyusunan Prioritas
Program dan Kegiatan Bina Gizi dan KIA Tahun 2013. Bahan Presentasi. Jakarta:
Ditjen Bina Gizi dan KIA Kementerian Kesehatan, 2012.
[2]Achmad Charris Zubair, “Wanita
dalam Transformasi Sosial Budaya: Telaah Peranan Strategis dalam Konteks Global”
, http://filsafat.ugm.ac.id/downloads/artikel/wanita.pdf,
1 (diakses 9/4/2012)
[3]Dengan mengabaikan secara
kualitas (menyusui sesuai anjuran), dapat dikatakan bahwa sebelum abad ke-20,
hampir setiap bayi disusui oleh ibunya karena tidak ada pilihan lain. Namun,
pada awal abad ke-20 (tahun 1900-an), terjadi perubahan nilai tentang seiring dengan industrialisasi dan
modernisasi. Adanya tuntutan hak-hak perempuan, seperti di bidang politik dan
ekonomi melalui partisipasi pada pemilihan umum untuk memberikan suara pada
pemilihan umum, bekerja, merokok, memanjangkan atau memendekkan rambut, dan ke
luar rumah. Nilai menyusui mengalami pergeseran. Menyusui dianggap kuno,
mengikat, bentuk perbudakan dan cara makan orang miskin yang tidak bisa membeli
susu formula. Bagi perempuan kalangan menengah modern, roti dan menyusui
melalui botol merupakan hal yang terbaik bagi bayi. Pada tahun 1960-an dan
1970-an, gerakan perempuan mengembalikan kepopuleran menyusui dengan munculnya
pengetahuan tentang ASI sebagai makanan terbaik untuk bayi dan bermanfaat juga
bagi ibunya. Lihat Heidi Murkoff et al. Kehamilan: apa yang anda hadapi bulan
per bulan, 407.
[4]Menurut Thomas W. Arnold
di dalam Ismail dan Hotman, “agama dakwah adalah agama yang memiliki
kepentingan suci untuk menyebarkan kebenaran dan menyadarkan orang kafir
sebagaimana dicontohkan sendiri oleh penggagas agama itu dan diteruskan oleh
para penggantinya”. Lihat Ilyas Ismail dan Prio Hotman. Filsafat Dakwah:
Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban Islam. Jakarta: Kencana, 2011, 11.
[5]Q.S. Al Baqarah [2]: 233:
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi
yang ingin menyempurnakan penyusuan. ...”
[6]Q.S. Lukman [31]: 14: “... Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah semakin bertambah lemah
juga, sampai masa penyapihan bayinya dalam umur dua tahun. ...”
[7]Lihat Q.S. Al-Ahqaaf [46]:
15: “... ibunya mengandungnya dengan susah
payah, dan melahirkannya dengan susah payah. Mengandungnya sampai menyapihnya
adalah tiga puluh bulan, ...”
[8]Beberapa alasan ibu bekerja
tidak melaksanakan ASI Eksklusif, diantaranya adalah tidak ada atau tidak
diberi kesempatan menyusui, repot bayinya tidak bisa dibawa ke tempat kerja,
harus pulang balik ke rumah untuk menyusui bayi, tidak ada ruang peneitipan
anak, tidak tersedia ruangan menyusui atau tidak tersedia fasilitas memerah dan
menyimpan ASI di tempat kerja serta gencarnya iklan susu formula di media yang
dapat menyebabkan ibu memiliki alternatif lain sebagai pengganti ASI selama
bekerja, seperti makanan tambahan lain atau susu formula. Pada ibu bekerja,
dalam periode pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan terdapat waktu sekitar 3
bulan ibu harus sudah bekerja, jika ibu mengambil cuti mulai menjelang
melahirkan. Jika cuti diambil 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan
setelah melahirkan, maka sekitar selama 4,5 bulan periode memberikan ASI
eksklusif ibu juga bekerja. Lihat Pasal
82 UU No. 13 tentang Ketenagakerjaan.
[9]Kementerian
Negara Pemberdayaan Perempuan, Pemberdayaan Perempuan dalam Peningkatan
Pemberian ASI. Jakarta: Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, 2008, 6
(Diperbanyak oleh Kementerian Kesehatan RI tahun 2010).
[10]Manfaat ASI, diantaranya
adalah sesuai dengan kebutuhan bayi manusia, lebih mudah dicerna, aman,
menenangkan perut, tidak menggemukan, mendukung pertumbuhan dan meningkatkan
perkembangan otak, mencegah alergi, mencegah infeksi, membangun mulut lebih
kuat, mudah, ekonomis, mempercepat pemulihan dan kembali ke bentuk pra hamil,
menunda menstruasi, membangun tulang, mengurangi resiko kanker, mendekatkan ibu
dengan bayi, kepuasan emosional, keintiman, saling berbagi cinta, dan membentuk
hubungan ibu anak yang kuat. Lihat Heidi Murkoff et al. Kehamilan: apa yang
anda hadapi bulan per bulan. Alih bahasa Susi Purwoko. Edisi 3 (Revisi 2006).
Jakarta: Arcan, 2006, 407-410. Baca juga Kemneg Pemberdayaan Perempuan, Pemberdayaan
Perempuan dalam Peningkatan Pemberian ASI, (Jakarta, 2008), 15-18.
[11]Perbedaan
pendapat ulama (ikhtilaf) tentang
Bank ASI atau ASI meliputi prinsip rada’ah (susuan), yakni pengertian ar-radha', batasan
umur bayi, jumlah susuan, cara menyusu, adanya saksi yang berkaitan dengan
kemahraman, dan hukum jual beli ASI. Dalam pertimbangan aspek kesehatan, ibu pendonor ASI harus
memenuhi syarat memiliki kelebihan ASI dan kesehatan yang baik, antara lain non-perokok, tidak minum obat dan alkohol,
tes darah negatif untuk Hepatitis B dan C, HIV 1 dan 2, serta HTLV 1 dan 2,
memiliki kekebalan terhadap rubella dan sifilis negatif, tidak memiliki riwayat penyakit TBC aktif, herpes atau kondisi kesehatan kronis lain, seperti multiple sclerosis atau
riwayat kanker. Daya tahan ASI, yaitu pada suhu 19 – 25 derajat celcius ASI dapat tahan 4-8 jam, suhu 0-4 derajat celsius ASI tahan 1-2 hari, serta suhu dalam freezer khusus bisa tahan 3-4
bulan. Paling tidak ada 3 (tiga) pandangan ulama tentang masalah
penyusuan, yaitu membolehkan, mengharamkan dan membolehkan dengan syarat yang sangat
ketat. Lihat SMK Darunnajah, “Hukum Bank ASI
dan Bank Sperma”, Published on
18 September 2011, http://www.smk
darunnajah.sch.id/2011/09/hukum-bank-asi-dan-bank-sperma.html.
[12]Q.S. Al Baqarah [2]: 233: “...
Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa
bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. ...”, sedangkan dalam
Peraturan Pemerintah RI No. 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu
Eksklusif pasal 11 (2e) disebutkan ASI tidak diperjualbelikan.
[13]Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam Pasal 7 Ayat (1) disebutkan
mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang/Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; serta
Peraturan Daerah.
[14]Sandra Fikawati dan Ahmad
Syafiq. Kajian Implementasi dan Kebijakan ASI dan Inisiasi Menyusu Dini di
Indonesia. Makara, Kesehatan, Vol. 14, No. 1, Juni 2012, 3.
[15]Lihat bagian penjelasan
halaman 2.
B. Analisis
PP nomor
33 tahun 2012 merupakan produk hukum dengan kekuatan hukum yang jelas, tegas
dan tertulis. Dalam ketentuan peralihan disebutkan bahwa pada saat PP ini mulai
berlaku, pengurus tempat kerja dan/atau penyelenggara tempat sarana umum, wajib
menyesuaikan dengan ketentuan PP ini paling lama 1 (satu) tahun. PP nomor 33
tahun 2012 genap berlaku 1 tahun pada tanggal 1 Maret 2013. Dalam PP tersebut
terdapat toleransi waktu. Hal ini sesuai dengan prinsip dalam agama yang tidak
ingin memberatkan. Kekuatan besar juga terdapat pada amanat PP sesuai dengan
perintah dalam Al-Qur’an (Q.S. [2]: 233), (Q.S. Lukman [31]: 14), (Q.S. Al-Ahqaaf [46]: 15). Meskipun tidak secara
eksplisit disebutkan tentang ASI eksklusif dalam Al-Qur’an, namun perintah
kepada ibu untuk menyusukan bayinya sampai 2 tahun untuk menyempurnakan
susuannya merupakan landasan moril, kekuatan spiritual dan nyata untuk dapat
meningkatkan peran dakwah dalam Islam dalam membantu peningkatan pemberian ASI
eksklusif.
Kekuatan
regulasi PP 39 tahun 2012, selain dilihat berdasarkan dukungan peraturan
perundangan dalam bentuk PP, amanat UU, perintah agama, peran dari Kementerian
Kesehatan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan
Kementerian Tanaga Kerja dan Transmigrasi juga beberapa subsantasi membutuhkan
para ahli agama, khususnya ahli fiqih dalam pembahasan pada bagian ketiga
mengenai Pendonor ASI. Substansi dakwah di sini
adalah segala aspek yang berfungsi dalam kegiatan tersebut, meliputi: 1) isi
atau pesan-pesan yang disampaikan; 2) metode penyampaian; 3) narasumber atau
da’i yang berperan; dan 4) media yang digunakan.
Pada
pasal 6 disebutkan, setiap ibu yang melahirkan harus memberikan ASI eksklusif
kepada bayi yang dilahirkan. Dalam pasal 9 dinyatakan tenaga kesehatan dan
penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan wajib melakukan inisiasi menyusu
dini terhadap bayi yang baru lahir kepada ibunya paling singkat selama 1 (satu)
jam. Ketentuan lain yang mendukung kekuatan dalam PP adalah adanya saknsi
administratif (teguran lisan, teguran tertulis, pencabutan izin) untuk tenaga
kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan. Untuk penggunaan susu formula juga
ada pelarangan untuk memberikan kepada bayi serta pembatasan penggunaan dan
promosi susu formula.
Dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pada Pasal 7 Ayat (1) disebutkan mengenai
jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang/Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; serta
Peraturan Daerah. PP merupakan peraturan perundang-undangan di bawah UU. PP adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh
Presiden untuk menjalankan UU sebagaimana mestinya. Keberadaan Pemerintah hanya untuk menjalankan UU. PP berlaku secara nasional di seluruh
wilayah Indonesia.
Program ASI di tempat kerja sangat penting dan memiliki nilai
strategis mengingat jumlah pekerja perempuan di Indonesia cukup besar, mencapai
39.946.327 atau 38% dari total jumlah
pekerja. Keberhasilan
program ASI di tempat kerja akan sangat berdampak pada keberhasilan program ASI
secara nasional. Untuk menggalakkan program ASI di tempat kerja, beberapa lembaga dan sarana
prasarana penunjang, seperti klinik laktasi, pojok laktasi, Hotline ASI, Sentra
Laktasi Indonesia (SELASI), Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI), konselor
menyusui (breastfeeding counselor) dan
konsultan laktasi. Dalam upaya mendukung kebijakan program ASI
eksklusif saat ini mulai banyak organisasi di masyarakat sebagai bentuk
kepedulian dalam mendukung terwujudnya ibu menyusui secara eksklusif.
ASI eksklusif adalah pemberian hanya
Air Susu Ibu (ASI) saja kepada bayi sejak lahir sampai berumur enam bulan,
tanpa tambahan cairan lain, seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, air
putih dan tanpa tambahan makanan padat seperti pisang, pepaya, bubur susu,
biskuit, bubur nasi dan tim. Meskipun dalam Islam tidak secara tegas
menjelaskan tentang ASI eksklusif, pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan
pertama didasari oleh bukti ilmiah tentang manfaat ASI bagi daya tahan hidup
bayi, pertumbuhan dan perkembangannya[1].
Setidaknya dalam Al-Qur’an, terdapat 3 ayat menyebutkan lamanya waktu menyusui
atau menyapih bayi[2].
WHO/UNICEF
dalam Global Strategy for Infant and
Young Child Feeding merekomendasikan empat hal penting dalam pemberian
makanan bayi dan anak, yaitu 1) Memberikan ASI kepada bayi segera dalam waktu
30 menit setelah bayi lahir; 2) Memberikan hanya ASI saja atau pemberian ASI secara
eksklusif sejak lahir sampai bayi berusia 6 bulan; 3) Memberikan makanan
pendamping ASI (MP-ASI) sejak bayi berusia 6 bulan sampai 24 bulan, dan 4)
Meneruskan pemberian ASI sampai anak berusia 24 bulan atau lebih[3].
Dengan demikian, rekomendasi WHO/UNICEF ini sejalan dengan apa yang telah
diperintahkan dalam Al-Qur’an.
Walaupun
sudah banyak diketahui mengenai manfaat memberikan ASI, adanya perintah agama
dan rekomendasi WHO/UNICEF serta dukungan berbagai regulasi terkait, tetapi
tingkat kesadaran masyarakat untuk memberikan ASI kepada bayinya masih rendah. Pemberian ASI secara eksklusif relatif memprihatinkan. Pemberian ASI dan makanan tambahan
yang salah berakibat pada tingginya jumlah balita penderita kurang gizi dan gizi buruk. Sekitar 6,7 juta balita atau 27,3%
dari seluruh balita di Indonesia menderita kurang gizi dan sebanyak 1,5 juta
diantaranya menderita gizi buruk. Pemberian ASI eksklusif oleh ibu untuk bayinya pada
dasarnya merupakan suatu hak bagi bayi[4].
Dalam
Peraturan Bersama Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi, dan Menteri Kesehatan tentang Peningkatan Pemberian ASI
Selama Waktu Kerja di Tempat Kerja, pada Bab III mengenai Tugas dan Tanggung
Jawab disebutkan bahwa Menteri Kesehatan salah satunya bertugas dan bertanggung
jawab menyediakan, menyebarluaskan bahan-bahan komunikasi, informasi dan
edukasi tentang peningkatan pemberian ASI. Aspek komunikasi secara eksplisit
disebutkan dalam tugas dan tanggung jawab tersebut. Sedangkan dalam Peraturan
Pemerintah RI Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif pada
pasal 11 dinyatakan bahwa pemberian ASI eksklusif oleh pendonor ASI karena ibu
kandung tidak dapat memberikan ASI Eksklusif bagi bayinya, maka diperlukan
persyaratan diantaranya identitas, agama, dan alamat pendonor ASI diketahui
dengan jelas oleh ibu atau keluarga dari bayi penerima ASI, serta ketentuan
bahwa pemberian ASI oleh pendonor ASI wajib dilaksanakan berdasarkan norma
agama dan mempertimbangkan aspek sosial budaya, mutu, dan keamanan ASI. Tugas
dan tanggung jawab untuk menyediakan, menyebarluaskan bahan-bahan komunikasi,
informasi dan edukasi tentang peningkatan pemberian ASI serta sosialisasi
regulasi/kebijakan/peraturan mengharuskan adanya keterlibatan, faktor pendukung,
dan peran penting berupa media[5].
Pada
kedua regulasi tersebut terlihat adanya peran aspek komunikasi, media dan
agama. ASI eksklusif merupakan sesuatu yang universal dan dapat dikaji dalam
berbagai sudut pandang bidang keilmuan, seperti kesehatan, agama dan kebijakan.
Praktek
menyusui atau pemberian ASI merupakan bentuk perilaku kesehatan masyarakat.
Perilaku dalam Islam biasa disebut
sebagai akhlak[6]
yang mencakup akhlak baik (terpuji) dan akhlak
buruk (tercela).
Adanya
kekuatan regulasi dalam PP nomor 33 tahun 2012 sejalan dengan berbagai definisi
diantaranya menurut Branston dan Stafford, Kalesaran, Isang
Gonarsyah, dan Stigler. Pada intinya regulasi ditujukan untuk melindungi
kepentingan dan memberikan manfaat bersama-sama yang lebih luas.
Pemberian ASI eksklusif tidak hanya
menjadi isu nasional, tetapi merupakan komitmen global. Berdasarkan
identifikasi terhadap peraturan perundangan yang ada terkait ASI eksklusif,
terlihat adanya kontrol pemerintah untuk mendukung ASI eksklusif. Selain dalam
bentuk peraturan perundangan, juga terdapat kebijakan dan program berbagai
peraturan perundangan bagai kebijakan dan peraturan perundangan Pemberian ASI,
khususnya di kementerian terkait, yaitu Kementerian Kesehatan dan Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Berbagai
bentuk intervensi kontrol pemerintah dalam bentuk peraturan perundangan berupa
Undang-undang yang mendukung pemberian ASI adalah khususnya UU No. 49 tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No. 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan merupakan landasan hukum bagi lahirnya Peraturan Pemerintah No.
33/2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif dan perlu dikaji kesesuaiannya.
Lahirnya PP tersebut dalam prosesnya mengalami kendala dan hambatan khususnya
dari dunia usaha/industri sehingga dimungkinkan dalam implementasinya juga
terdapat permasalahan[7].
Dalam PP
ini juga terdapat substansi yang memerlukan kajian dan tindak lanjut,
diantaranya adalah evaluasi pelaksanaan dan pencapaian program pemberian ASI
Eksklusif di tempat kerja, penelitian dan pengembangan program ASI Eksklusif
yang mendukung perumusan kebijakan kabupaten/kota, pertimbangan norma agama, aspek sosial budaya, mutu, dan
keamanan ASI terkait pemberian ASI Eksklusif dari
pendonor ASI; tata cara pengenaan sanksi
administrasi bagi tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan, tata cara penggunaan susu formula bayi dan produk bayi lainnya, dan tata cara penyediaan fasilitas khusus menyusui
dan/atau memerah ASI. Selain itu, implementasi kebijakan harus dilihat
sinergisitasnya dan tidak berbenturan dengan kebijakan atau peraturan lainnya
di tingkat perusahaan. Misalnya adalah ketentuan tentang jam kerja.
Aspek
kontrol dan pengendalian pemberian ASI Eksklusif tampak juga pada aktivitas
yang secara langsung disebut, diantaranya adalah pengaturan pemberian ASI,
advokasi dan sosialisasi, pembinaan, pengawasan, evaluasi, kerjasama, akses
terhadap informasi dan edukasi, kerja sama, dan ketentuan tentang sanksi,
dukungan masyarakat, ketentan pendanaan dan pembiaan dan penawasa, peran SDM di
bidang kesehatan, peran dan dukungan keluarga dan masyarakat, pengawasan
terhadap produsen atau distributor susu formula bayi dan/atau produk bayi
lainnya. Kontrol dan pengendalian merupakan bentuk sikap tanggung jawab. Dalam
PP 39 terdapat pembagian tanggungjawab kepada pemerintah, pemerintah daerah
provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam program pemberian ASI
Eksklusif (pasal 3, pasal 4, dan pasal 5 PP nomor 33 tahun 2012). Adanya
sanksi-sanksi juga merupakan bentuk upaya untuk mengontrol dan mengendalikan
atau membatasi meluasnya susu formula.
Kontrol
dan pengendalian merupakan aspek dalam dakwah Islam. Agama Islam sangat
menghendaki adanya kontrol dan pengendalian diri. Kontrol dan pengendalian diri
terhadap keinginan-keinginan duniawi yang berlebihan, pengendalian terhadap
berbagai hawa nafsu yang menyesatkan sehingga memberikan keselamatan,
kebahagiaan dan kedamaian dalam hidup.
Regulasi diri dalam program ASI
Eksklusif diharapkan para pihak terkait dapat mendorong sepenuhnya untuk
keberhasilan program ASI Eksklusif. Dalam PP nomor 33 tahun 2012 regulasi diri
secara internal dapat ditujukan kepada berbagai sasaran, seperti ibu-ibu yang
diharuskan menyusui bayinya, tenaga kesehatan untuk konsisten mendukung
keberhasilan program ASI Eksklusif. Regulasi menunjukkan adanya
upaya untuk mengendalikan
perilaku manusia atau masyarakat dengan aturan atau pembatasan. Regulasi dapat
dilakukan dengan berbagai bentuk, misalnya pembatasan hukum diumumkan oleh
otoritas pemerintah, regulasi pengaturan diri oleh suatu industri seperti
melalui asosiasi perdagangan[8]. Regulasi diri jelas merupakan salah satu perwujudan dari nilai atau pesan
dalam dakwah.
Dalam kaitannya dengan
progarm ASI Ekslusif dapat diartikan sebagai pengendalian olah kelompoknya.
Pada indsutri media, jenis regulasi diri misalnya adalah adanya kode etik dari
para jurnalis itu sendiri secara independen atau oleh asosiasi industri media,
dewan pers, organisasi wartawan, organisasi media dan lain sebagainya. Pada
program ASI eksklusif, regulasi diri misalnya adanya organisasi Asosiasi Ibu
Menyusui Indonesia (AIMI). AIMI yang bergerak dalam sosialisasi, advokasi, konseling, pelatihan,
pendampingan dalam hal ASI
eksklusif. AIMI memiliki lalam web, jejaring sosial twitter,
facebook. Selain itu, juga dapat dilakukan oleh komunitas para pekerja. Sebagai
gambaran tentang AIMI, berikut disampaikan beberapa dokumen AIMI:
Aspek mekanisme pasar dan tuntutan masyarakat,
deregulasi, dan liberalisasi. Mekanisme pasar dan kebebasan tuntutan masyarakat
dalam kaitannya dengan program ASI Eksklusif adalah menyangkut pemberian susu
formula bagi bayi di atas 6 bulan. Melalui mekanisme pasar diharapkan
terjadinya keseimbangan, persaingan bebas dan adanya keadilan. Prinsip keadilan
merupakan bagian dalam ajaran Islam.
Dalam PP 39 nomor 33 tahun 2012 isi materi yang dapat
diidentifaksi berdasarkan klasifikasi jenis media berdasarkan kekuatan pada
mekanisme pasar, yaitu produk susu formula. Gencarnya promosi susu formula di
banyak media, khususnya media elektronik televisi menjadi penyebab rendahnya
cakupan angka pemberian susu formula. Oleh karena itu, mekanisme pasar tentang
susu formula perlu diperbanyak lagi aturan-aturan pengetatan, termasuk perlunya
tuntutan masyarakat melalui pemahaman dan peningkatan kesadaran arti pentingnya
pemberian ASI eksklusif melaui sosialisasi secara lebih luas ke seluruh lapisan
masyarakat.
Islam merupakan agama
persamaan dan keadilan. Allah SWT bersifat adil dan cinta keadilan dan mengasihi
orang yang bersifat adil. Banyak ayat al-Quran yang menyeru kepada keadilan dan
mencegah daripada bersifat zalim[9].
Allah SWT berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu semua
menjadi orang-orang yang menegakkan keadilan kerana Allah, lagi menerangkan
kebenaran, dan janganlah sekali-kali kebencian kamu terhadap sesuatu kaum itu
mendorong kamu kepada tidak melakukan keadilan. Hendaklah kamu berlaku adil
(kepada sesiapa jua) kerana sifat adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan
bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat mengetahui dengan mendalam
akan apa yang kamu lakukan” (Q.S. Al-Maaidah [5]: 8)
Dalam
sejarah perkembangannya perdebatan regulasi media telah menyentuh berbagai
aspek kehidupan, seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pendidikan,
agama dan pertahanan keamanan. Begitu penting dan strategisnya peran media
sehingga diperlukan kontrol terhadap media melalui regulasi apapun bentuk dan
siapapun yang melakukannya. Dinamika ilmu pengetahuan dan teknologi serta
kehidupan masyarakat terkadang membutuhkan juga suatu kebijakan deregulasi.
Pada titik keseimbangan tertentu regulasi terhadap media diharapkan akan dapat
lebih melindungi masyarakat umum, institusi/industri media publik dan
komersial, keluarga dan individu atau dengan kata lain membawa kemaslahatan
bagi umat secara keseluruhan.
Pembahasan
tentang ASI sangat penting mengingat manfaat dan pengaruh yang begitu besar
terhadap banyak aspek kehidupan. Tinjauan terhadap pemberian ASI secara
eksklusif dalam perspektif regulasi menurut klasifikasi oleh Branston dan
Stafford akan memperlihatkan sejauhmana kekuatan dan eksistensi regulasi baik
secara filosofis, historis (konstruksi dan rekonstruksi), politis, maupun
empiris. Regulasi pada dasarnya bersifat dinamis yang dalam perjalanannya
memerlukan revisi dan penyempurnaan, bahkan deregulasi mengikuti dinamika dalam
masyarakat serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Efektivitas pada
akhirnya menjadi dasar untuk menilai seberapa lama suatu regulasi ideal untuk
dipertahankan. Dalam konteks PP nomor 33 tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif
jelas terlihat sebagai bentuk aplikasi tentang regulasi sebagaimana yang
ditulis oleh Branston dan Stafford dan berdasarkan berbagai definsi tentang
regulasi.
[1]Semua
energi dan gizi (nutrisi) yang dibutuhkan bayi selama enam bulan pertama
kehidupannya cukup dengan AS. Pemberian ASI eksklusif mengurangi tingkat
kematian bayi akibat berbagai penyakit umum yang menimpa anak-anak, seperti
diare dan radang paru, serta mempercepat pemulihan bila sakit. Lihat Kementerian
Negara Pemberdayaan Perempuan, Pemberdayaan Perempuan dalam Peningkatan
Pemberian ASI. Jakarta: Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, 2008,
20.
[2]Lihat Q.S. Al Baqarah [2]: 233, Q.S. Lukman [31]: 14, dan Q.S. Al-Ahqaaf [46]: 15. Sedangkan dalam ayat-ayat
lain, seperti Q.S Annisaa [4]: 23, Q.S. Al Hajj [22]: 2, Q.S. Al Qashash [28]:
7, 12; Q.S An Nahl [16]: 66, Q.S. Al Mukminuun [23]: 21, dan Q.S. Muhammad [47]:
15, disebutkan tentang sepersusuan/menyusui/susu dalam konteks lain.
[3]Kemneg
Pemberdayaan Perempuan, Pemberdayaan Perempuan dalam Peningkatan Pemberian ASI,
(Jakarta, 2008), 14.
[4]Dirjen Bina Gizi dan KIA
Kemenkes, “Bahan Sosialisasi ‘Percontohan’ ASI Eksklusif di Tempat Kerja
Dukungan Dana Tugas Pembantuan 2012” , Surabaya, 29 – 31 Maret 2012.
Berdasarkan data tahun 2007, secara nasional rata-rata balita
disusui adalah
selama 16,5 bulan. Menurun dibandingkan
dengan tahun sebelumnya, yakni sebesar 16,9 bulan. Data tahun 2010 menunjukkan bahwa persentase bayi yang menyusui
eksklusif sampai dengan 6 bulan adalah 15,3%. Inisiasi dini menyusui kurang
dari satu jam setelah bayi lahir adalah 29,3%, tertinggi di Nusa Tenggara Timur
56,2% dan terendah di Maluku 13,0%. Sebagian besar proses mulai menyusui
dilakukan pada kisaran waktu 1-6 jam setelah bayi lahir tetapi masih ada 11,1%
proses mulai disusui dilakukan setelah 48 jam. Persentase bayi yang menyusui eksklusif sampai dengan 6 bulan adalah
15,3%. Inisiasi dini menyusui kurang dari satu jam setelah
bayi lahir adalah 29,3%, tertinggi di Nusa Tenggara Timur 56,2% dan terendah di
Maluku 13,0%. Sebagian besar proses mulai menyusui dilakukan pada kisaran waktu
1-6 jam setelah bayi lahir tetapi masih ada 11,1% proses mulai disusui
dilakukan setelah 48 jam. Baca juga Balitbang Kemenkes, Riset
Kesehatan Dasar 2010, (Jakarta, 2010) , 4.
[5]Media di sini, sesuai
dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai alat (sarana)
komunikasi, seperti koran, majalah, radio, televisi, film, poster, dan spanduk.
Istilah umum yang sering digunakan dengan kata media, diantaranya media cetak,
media elektronik, media film, media massa, media pendidikan, dan media
periklanan.
[6]Secara
bahasa (lughatan), akhlaq
merupakan bentuk jamak dari Al khuluq, yang berarti ad din
(agama), tabiat, perangai, kelakuan, tingkah laku, matuah, adat kebiasaan, dan sebagai agama itu sendiri. Menurut Ibnul Arabi Al Khuluq
artinya muru’ah (kepribadian). Menurut istilah, akhlak adalah
sifat yang tertanam di dalam diri yang dapat mengeluarkan sesuatu perbuatan
dengan senang dan mudah tanpa pemikiran, penelitian dan paksaan. Al-Ghazali menyatakan akhlak ialah suatu keadaan
yang tertanam di dalam jiwa yang menampilkan perbuatan-perbuatan dengan senang
tanpa memerlukan pemikiran dan penelitian. Apabila perbuatan yang muncul itu
baik dan terpuji menurut syara dan akal, maka perbuatan itu disebut akhlak yang mulia. Sebaliknya jika muncul perbuatan yang buruk, dinamakan
sebagai akhlak yang buruk. Baca Farid Nu’man, “Akhlak”, http://kipsi.wordpress.com/2009.
Menurut Farid Nu’man, pembicaraan tentang akhlak bermuara pada kondisi
jiwa manusia yang ditampakkan oleh perbuatan mereka, yang didasarkan oleh
pemahaman agama, Al Quran, dan ketaqwaan
[7]Peraturan Pemerintah No.
33/2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif sudah mulai pembahasannya sejak
November 2006 (saat itu bernama RPP Pemasaran Susu Formula) dan baru bulan
Maret 2012 disahkan.
[9]http://www.utusan.com.my/utusan/info.asp?y=2012&dt=0209&pub=Utusan_Malaysia&sec=Bicara_Agama&pg=ba_03.htm
(diakses:
3/1/2013)
silahkan diberikan masukan tuk artikel di atas ...
BalasHapus